Kamis, 21 Juli 2011

Sebuah cerpen mengharukan' Teratai layu

Kami tak pernah tahu mengapa kami kelak dilahirkan,
Kami juga buram arti kata sayang dan peduli
Yang kami tahu dendam dan caci
Fasih berkata lacur merajam hati
Kala bulan semakin jauh,
Kami meniti nirwana tiada pasti…
( Nariswari )


Dari teralis jendela Rumah Sakit Jiwa Bogor, aku terlihat begitu kecil dan lemah. Bunga-bunga Aster dan Camelia berpencar-pencar selang-seling di antara semak liar. Tampak Pak Dung, begitu aku menyebutnya, sedang asyik bergumam dengan bahasanya sendiri. Kabar yang kudengar dari Om Dokter yang sering memberi pil dan kertas gambar padaku, ia berat ditinggal istri. Sibuk marah-marah , disebelahnya berdiri Mama Dona. Aku agak takut jika bertemu dia. Dengan lancung dia selalu marah dan memaki orang-orang yang ditemuinya. Entahlah, aku takut dengan dia…atau aku takut dengan kemarahan itu sendiri.

Namaku Wati. Panggil aku Nok. Emak biasa memanggilku Enok. Panggilan sayang bagi anak perempuan di Cirebon. Perasaan kami sangat dekat, bahkan hingga kini, saat aku dirawat di rumah sakit jiwa ini. Atau terperangkap dan dikurung , lebih tepatnya.

Marilah kita mulai kisah ini.

Aku dan adikku tinggal dengan Emak dan Abah di sebuah desa kecil di Cirebon. Kami hidup sangat sederhana. Abah sering bilang ke kami, di balik kesederhanaan kami, di situ selalu ada harapan dan usaha. Abah selalu membesarkan hati kami. Beliau sering bilang, bahwa suatu hari nanti, kami juga mampu untuk memiliki sepatu pantopel yang amat kami idam-idamkan. Di desa kami, hanya anak Pak Lurah yang mampu membelinya. Dan yang membuat kami semakin sedih, ia membeli dua pasang sekaligus! Ah…biarlah kisah sedih tentang anak Pak Lurah itu berlalu.

Menggantungkan hidup dari pendapatan Abah yang hanya sebagai penggarap ladang milik Haji Sopian, tentu tidaklah cukup. Emak mati-matian memutar otak untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, dengan menjadi buruh cuci di kawasan perumahan yang lokasinya berdekatan dengan desa kami. Pagi-pagi sekali Emak berangkat sambil membawa tembalong cucian.

Air muka Emak capek.

Sering aku memergoki Emak termenung saat sore hari, setibanya aku dari sekolah. Aku masih terlalu kecil untuk merenangi isi benaknya.

Adikku Usin-lah yang sering menghibur. Pandai sekali dia membuat Emak tertawa dan membuat lupa akan sedih dan gaulananya.

Jika ada orang bilang bahwa uang dapat mendatangkan kebahagiaan, mungkin ada benarnya. Dan aku percaya akan hal itu. Abah dan Emak sering bertengkar karena hal sepele. Mulai dari masalah lupa membawa kayu bakar, lauk keasinan, lupa menjerang air untuk minum, sampai ke hal yang paling intim, yang seharusnya kami tak perlu mendengar.

Usin sering menangis tersedu-sedu saat melihat Abah dan Emak kerap bertengkar. Apalagi saat mendengar Abah berteriak dan menggebrak bale-bale tempat biasa mereka tidur, Usin langsung cepat-cepat menubruk aku dan menyusupkan kepalanya dalam-dalam ke ketiakku. Usin tidak tahu, ketakutannya mungkin tidak lebih besar dari ketakutanku…

Hingga suatu pagi, saat embun menjemput matahari, teriakan Usin memecah kesunyian. Seruannya penuh nada kepanikan dan takut. “ Tolong….Emak….tolong…tolong….Emak !!!” Teriak Usin seakan memukul-mukul dinding anyaman bambu tempat tinggal kami. Bergema menusuk kuping.

Berhamburan aku dan Abah menghampiri Usin yang tertelungkup menangis tersedu-sedu di pawon kami. Setiap subuh, Usin memang selalu rajin menunaikan sholat . Ia selalu mengambil wudhu dari tempayan di pawon. Saat masih gelap dia enggan keluar rumah , karena takut oray katanya. Di samping Usin, ada ketel yang mendidih di atas kayu bakar. Emak yang menjerangnya.

“Bah…Emak…Emak…”

Tubuh Emak kaku tergantung di seutas tali di langit-langit pawon.
Pagi itu kami menikmati air matang buatan Emak yang terakhir.
Kami sedih sekali dengan kepergian Emak. Begitupun dengan Abah. Disuruhnya kami memberitahu tetangga-tetangga kami di desa akan kepergian Emak. Tapi Abah wanti –wanti pada kami, “Bilang saja , mati lara…”.

Dengan sisa uang seadanya, Abah menyuguhkan kacang kulit dan teh pahit pada tetangga-tetangga kami yang datang melayat. Pihak masjid di desa kami berbaik hati menyumbangkan kain kafan dan biaya penguburan Emak. Haji Sopian, juragan Abah, menyumbang sepuluh ekor ayam sebagai tanda bela sungkawa.

Aku dan Usin duduk terpekur di pawon, tempat terakhir Emak menitipkan hidup. Atau lebih tepatnya…menggantungkan hidup. Dan menggantung dalam arti yang sebenarnya.

Seperti rekaman film 8 mm, kenangan Emak kembali bermain-main di pelupuk mataku.

Dulu, sewaktu aku berusia lima tahun, Emak sering mengepang rambutku yang panjang. Dari tangannya yang berkerut-kerut dan kurus, aku begitu menikmati tiap gerakan kepangannya. Silang ke kanan, silang ke kiri, dan sesekali diselingi dengan lagu Cirebonan yang dikumandangkan Emak. Lirih, tapi aku sungguh menikmati.

Kawarnaa Njeng Sunan Ngampelgading
Wus lami nggennya dhedhukuh
Sampun tengkar tumangkar
Langkung arja yata wau dhukuh ipun
Agemah dadi Negara
Katah ingkang sobat murid…

(Sunan sudah lama membangun pemukiman, penduduknya berkembang banyak, hidupnya makmur, dan tumbuh menjadi kota yang indah yang banyak dikunjungi pendatang dari jauh...)

Emak juga pernah mengajakku ke komedi putar. Usin masih terlalu kecil saat itu untuk diajak keluar malam hari. Usin ditinggal di rumah bersama Abah. Waktu itu ada komedi putar yang tampil di desa kami. Banyak sekali pedagang jajanan pasar dan mainan di sana. Emak mengajakku bermain mandi bola. Waaah…begitu banyak bola-bola kecil di bak kawat. Seperti kolam bola! Dengan lima ratus perak, Emak memanjakanku bermain sepuasnya di kolam bola. Sementara Emak dengan pandangan berkaca-kaca berjongkok di sudut tiang tenda pedagang buah. Seakan ia begitu menikmati kerianganku. Maklumlah, aku hampir tidak pernah dibelikan mainan oleh Abah dan Emak. Sering aku dan Usin merengek minta mainan. Dengan tenangnya Abah bilang, mainan yang paling bagus adalah alam. Jawabannya kerap bikin aku dan Usin kebal dan sebal.

Pulang dari komedi putar, Emak membelikanku permen gulali. Emak menyebutnya, permen orang kota. Sayang, sepulang dari komedi putar malam itu, hujan deras. Emak memeluk aku erat dan melindungi kepalaku dari hujaman air hujan.

Di pelukan Emak aku hangat.
Banyak kisah manisku bersama Emak, yang mustahil terhapus dari ingatanku. Sewaktu pertama kali aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Emak pernah memujiku,

“ Nok…kowe cakep. Aja nelangsa kayak Mak-mu ya.”

Mata Emak berkaca-kaca menatapku lekat.
Emak juga cantik, pikirku.
Kenanganku tentang Emak semakin kuat, saat beliau tiada. Tiap benda di rumah kami mengingatkanku akan Emak. Terutama tembolong cucian itu. Dari situlah kami bisa makan dan bersekolah. Dan setidaknya, masih memiliki harapan untuk memiliki sepatu pantopel seperti milik anak Pak Lurah.

Usiaku sudah menginjak tiga belas tahun, saat mendapat menstruasi pertama. Aku panik dan menangis ketakutan, saat sepulang dari sekolah, mendapati celana dalamku berwarna merah. Malu bercerita pada Usin dan Abah, aku lekas bertanya pada Hajah Odah, guru mengaji di desa kami. Ia-lah yang mengenalkan pembalut padaku untuk pertama kalinya.

Di tahun yang sama, Abah berkata padaku suatu malam, “Nok, macak sing rapih. Ana perjaka teka arep lamaran…”

Percaya atau tidak, aku kemudian menikah dengan seorang pria yang jauh lebih tua dari usia Abah, yang belum pernah kukenal sebelumnya.

Dari matanya, Abah sangat berharap aku mau menerima pernikahan ini. Aku kasihan dengan Abah. Aku berpikir, dengan aku menerima pinangan ini, sudah berkurang beban Abah untuk mencukupi satu mulut.

Dan taruban-pun digelar. Pinangan dan bunga-bunga dironce. Janur dipasang gagah di ujung desa. Abah sibuk bersalam-salaman dengan kerabat besan. Usin duduk sendirian , bingung menatap hiruk pikuk orang. Calon suamiku, Kang Dayat, memakai jas hitam dan kopiah. Semua tamu memujinya ganteng. Kecuali aku. Entahlah, mungkin karena semua ini tidak diawali oleh cinta.

“ Saya terima nikahnya Wati binti Thoyib dengan mas kawin seperangkat alat sholat…”

Kami menikah.
Di usia yang sebelia itu, aku masih ingin tahu banyak dunia luar. Tentang keindahan kota, sekolah sampai tingkat tinggi, dan lain-lain , agar hidupku tidak lagi nelangsa seperti pesan Emak.

Apa lacur, hidupku tak jauh dari mengangkang di ranjang, meneteki suami (berhubung kami belum dikaruniai anak) , dan berbenah di rumah Kang Dayat.

Semenjak tinggal serumah dengan Kang Dayat, aku jarang bersilaturahmi dengan Abah dan Usin di desa. Selain aku buta akan rute jalan, aku juga menghormati Kang Dayat. Aku tidak mau mencuri-curi waktu untuk keluar saat dia tak ada di rumah.

Secara garis besar, Kang Dayat baik. Dia mencukupi semua kebutuhanku. Mulai dari rumah yang kami tempati, makan minum, sampai ke perhiasan. Kang Dayat sering membawa uang gepokan ke rumah. Aku kaget bukan kepalang. Dengan tangan bergetar, aku memegang gepokan uang itu. Baru kali itu dalam hidupku, aku melihat dan memegang uang sebanyak itu !

Banyak sifat dari Kang Dayat yang aku teladani. Dia penyabar, dan bicaranya seperti orang kota yang halus dan santun. Berbeda dengan aku yang terkesan urakan dan kasar. Bahkan aku biasa berteriak-teriak saat memanggil Abah di ladang untuk makan. Atau mengingatkan Usin untuk mencari kayu bakar.

Kang Dayat kadang membawakanku sisir tanduk kerbau dan pupur mangir. Dia bilang aku cantik, dan akan semakin cantik jika dandan. Ah…tiba-tiba aku jadi ingat Emak. Dulu rambut ini Emak yang menyisir. Kini, aku terpaksa menata rambutku sendiri dan memberi pupur di pipiku yang ranum. Hanya satu yang belum aku bisa, mengepang rambut. Rindu rasanya dikepang Emak di bale-bale rumah.

Sebelum kami menikah, Abah memperkenalkan Kang Dayat padaku sebagai pedagang di kota. Di kota mana, berdagang apa, aku pun tidak tahu. Karena pada saat itu yang kurasakan hanya perasaan takut, marah, dan sedih tak terperi. Abah tega. Tapi aku juga tega jika membangkang titah Abah. Toh aku yakin, ada maksud baik dibalik nikah paksa ini.

Tiap hari, Kang Dayat berangkat menjelang sore, dan pulang kembali sampai di rumah menjelang ayam jantan keluar dari peraduan. Selalu, sesampainya di rumah, Kang Dayat langsung menuju tempat tidur, dan mengurai mimpi. Baru agak siang setelah Kang Dayat bangun, kami bertukar cerita. Dari Kang Dayat-lah aku membayangkan betapa indahnya kota. Ada mobil , motor, bangunan tinggi, sampai makanan kota yang asing aku dengar, seperti soes, bolu, bika, atau apalah. Membayangkannya pun aku letih, mungkin karena aku terlalu banyak bermimpi.

Sering Kang Dayat memintaku untuk pindah ke kota. Bermaksud baik meninggalkan desa tempat aku lahir dan dibesarkan, untuk meraih impian dan harapan. Aku masih tidak yakin. Aku berat meninggalkan Abah dan Usin. Walau kami sudah amat jarang bertemu, tapi setidaknya aku masih tinggal di desa yang sama, meminum air dari kali yang sama, dan berselimut langit yang sama.

Kang Dayat kalah.
Kami tidak jadi hijrah ke kota.
Bahkan yang sangat menggembirakanku, akhir-akhir ini Kang Dayat sering di rumah menemani aku, dan tidak lagi pulang pagi. Saat aku tanya, “ Apa Akang tidak kerja ? “ Dia hanya tersenyum manis dan membelai rambutku.

Seperti membuka pintu neraka lebar-lebar, begitu mudahnya aku membiarkan kisah sedih menjadi petaka di kemudian hari…

Suatu pagi, datang dua orang lelaki, ke rumah kami. Lelaki satu berperawakan pendek gemuk dan berkulit hitam, sepertinya seumuran dengan Kang Dayat. Lalu yang satunya berperawakan sedang, memakai dua gigi emas ( dan itulah yang mungkin menyebabkan ia sering menyeringai agak mengerikan..) dan rambutnya tertata rapi memakai pomade. Kang Dayat menyambut mereka dengan baik, kelewat ramah malah.

Dikenalkannya aku pada mereka. Si gemuk pendek itu ternyata bernama Sarmo, dan si gigi emas bernama Wanto.

Lalu Kang Dayat memintaku membuat kopi dan makanan kecil di dapur. Sayup-sayup aku mendengar mereka berbisik-bisik lalu tertawa terbahak-bahak. Ah, senang rasanya saat pasangan kita berbahagia seperti itu.

Saat aku menyuguhkan kopi dan jadah goreng di meja tamu, Kang Dayat memintaku segera masuk ke kamar . “ Dandan sing cakep ya Ti…”

Tiba-tiba aku merinding mendengar ucapannya. Aku jadi ingat Abah, saat memintaku dandan saat nikah paksa.

“ Ngapa Kang? “
“Wis lah, aja akeh tanya. Dandan sing cakep. Titik !”

Dari balik gordyn kamar, aku sempat melihat kedua lelaki itu memberikan sejumlah uang pada Kang Dayat. Mereka berjabat tangan, dan Kang Dayat pun minta diri dari rumahnya sendiri.

Ditinggalnya aku sendirian di kamar dengan cepukan-cepukan bedak dan sisir tanduk kerbau. Pikiranku berkecamuk tidak tenang. Rasa panikku terjawab saat kedua lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamar tidurku. Senyuman mereka membuat semua pembuluh-pembuluh darahku mengencang, dan jantungku berdegub cepat, mengikuti ritme ketegangan yang tak beraturan. Si pendek gemuk mulai melucuti pakaiannya satu persatu, lalu disusul dengan lelaki satunya. Aku terlonjak dari kursi, dan menghalau mereka masuk ke dalam. Tanganku yang kurus dan kecil ternyata tak mampu melawan desakan mereka. Dengan mudahnya mereka menghempaskan aku ke atas ranjang. Aku terus meronta, dan menendangi tubuh telanjang mereka. Keringatku deras mengucur, seiring dengan ketakutanku yang kian memuncak. “Akang….tulung Wati Kang….Kang…tulung !” Teriakanku tak lebih dianggap mereka rengekan anak kecil yang meminta mainan. Bukannya iba , mereka malah semakin bersemangat untuk menindihku. Sekonyong-konyong, aku berteriak sekuat tenaga , “Akaaaaaaang!!!!!!!!!!!!....” Teriakanku terhenti saat Sarmo menghajar wajahku dengan kepalan tangannya yang besar. Bukan hanya kekejian yang bicara di situ, tapi juga birahi. Sejurus kemudian aku sudah tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi semenit, sejam, atau setengah hari kemudian. Bergumul dengan arti kata nafsu bak binatang, mereka menyeretku ke dalam liang derita dan aib berkepanjangan.

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “Gojegan Manten” dari radio tetangga sebelah…

Sorenya Kang Dayat pulang. Dia membawa baju-baju baru untukku. Dijinjingnya tiga potong baju baru itu dalam kantong semen. Ada yang motif bunga-bunga seperti punya gadis kota, ada yang memakai renda merah, dan baju tanpa lengan. Aku tak bisa membayangkan , apa kata Hajah Odah saat aku memakai baju seperti itu saat datang ke surau.

Bukannya senang karena suami datang, aku malah menangis dan menghambur ke kamar mandi. Jongkok bertelanjang aku di kamar mandi, segayung demi segayung air dingin kusiramkan ke tubuh kotorku itu. Berkali-kali kugosok-gosokkan seluruh tubuhku dengan penuh amarah dan kebencian. Tubuhku sudah dilumuri najis. Di luar, Kang Dayat mengetuk pintu kamar mandi perlahan.

“Ti…buka Ti. Ana kelambi anyar Ti..Cakep. Buka Ti…”
Air mataku menitik satu-satu.
Teringat Emak, Abah, dan Usin. Tiba-tiba aku terdorong ingin kembali ke desa. Ke rumah Abah.

Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk segera beranjak dari kamar mandi, lalu menerobos keluar menuju kamar tidur. Bersiap untuk kemas-kemas dan pergi dari rumah laknat itu.

Sudah tak ada lagi Kang Dayat yang aku hormati.
Jauh kulempar keinginan untuk berlama-lama di rumah itu.
Hilang semua bayangan manis yang kurajut dengan susah payah bersama Kang Dayat. Aku sudah cukup berbangga hati saat suamiku itu memboyongku ke sebuah rumah yang nyaman, membelikan pupur dan sisir tanduk kerbau, dan menikahiku dengan meriahnya taruban yang tentu saja membuat bangga setiap anak gadis desa yang lugu seperti aku.

Tapi semua lenyap tak bersisa. Kang Dayat tak lebih dari pria nista yang keji menjual istrinya.Bagai topan yang menerpa atap-atap rumbia di pesisir, semua hilang tak berbekas. Hanya menyisakan duka pilu yang menggoreskan sejarah bahwa di sana pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.

Kemuakan menyeruak, saat aku memasuki lagi kamar jahanam itu. Kelambu yang koyak, kain batik seprei yang kusut masai, kursi yang terguling, bantal dan guling seakan menusukku hingga ke pelung sum-sum.

Perih, Emak. Perih.
Aku masukkan empat potong kebayaku yang pernah Emak beri. Hanya itu yang kubawa. Air mata, perih, aib dan darah pun serta.Tak perlu emas, pupur cepukan, sisir tanduk kerbau , dan baju-baju pemberian Kang Dayat. Kulipat asal kebaya-kebaya itu ke dalam kain batik, lalu kusimpul menjadi gembolan. Langkahku bulat untuk pergi, saat Kang Dayat menghadangku di pintu kamar.

“Aja lunga Ti…”
“Akang kejam! Akang tega menjual Wati! Wati benci! Benci! Akang jahat !”
Aku luapkan makian dan sempalan rasa marah yang meradang. Melihat sorot mata Kang Dayat, aku telah kehilangan kata-kata. Semua unsur kebaikan dan kebajikan telah sirna , berganti dengan kenistaan dan keji.

Kudesak tubuh kekarnya agar tidak menghalangi jalanku keluar kamar. Tangan Kang Dayat ternyata lebih sigap dari kata-katanya. Di seretnya tanganku , lalu dihempaskan badanku yang ringkih ke atas ranjang laknat.

“Minggir Akang! Wati mau minggat! Wati ora sudi!”
Kutepis tangan Kang Dayat, lalu berusaha lari menghambur keluar. Langkahku terhenti, saat Kang Dayat menjambak dan mengoyak rambutku , dari belakang, lalu menghentakkanku keras ke lantai.

“Coba minggat kalau berani !”
Setelah kurunut alur kejadian-kejadian sebelumnya, mengapa Kang Dayat sering pulang pagi, bawa uang banyak, dan terakhir tega memperlakukan istrinya serendah ini, barulah aku tersadar Kang Dayat tak lebih seorang germo di kota.

Aku tersuruk ke tanah, seperti binatang keok yang kehabisan nyali. Dadaku perih. Sesak, ingin meledak.
Air mataku menetes satu-satu.
Tiba-tiba aku teringat Emak.

Kini ku tak yakin mampu membedakan rasa gulali pemberian Emak antara manis atau getir…

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “ Randa” dari radio tetangga sebelah…
Maka dimulailah prahara dan neraka itu.

Semenjak Kang Dayat bersikap kasar dan keji padaku, aku mati rasa. Warna langitku abu-abu. Pupus sudah harapan dan impianku. Teringat aku akan sepatu pantopel, mandi bola, baju bagus, sepeda , dan banyak lagi.

Tulang dan sendiku seakan terlepas dari rangkanya. Mata dan bathinku seakan melaju pada cabangnya sendiri-sendiri. Aku kehilangan huruf dan angka. Aku kehilangan makna cinta dan pelangi. Aku serasa ada dalam jasad yang telah lama mati.

Kejadian keji itu ternyata berulang lagi. Dengan orang-orang aneh yang asing di mataku. Dan aku sudah tidak perduli lagi akan diriku sendiri. Betul-betul aku sudah mati. Hanya jasadku yang enggan melepas tali nafas , hingga orang bilang aku masih hidup. Kali ini Kang Dayat lebih terang-terangan padaku. Dua kali, tiga kali, tujuh kali, entah berapa kali …aku bias untuk membilang. Hingga aku ragu, Kang Dayat atau aku yang telah kehilangan kewarasan?

Sampai pada kesimpulan bahwa cinta itu tidak ada.
Koreklah ke diriku yang paling dalam, hanya akan kau temukan luka penuh darah dan nanah.
Dan aku mulai ragu…apa Tuhan itu ada ?
Sementara itu, di tempat lain, di hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama.

Nun jauh di rumah sederhana tempat aku, Usin, Emak dan Abah tinggal, sedang dilangsungkan pengajian. Berkerumun di tengah-tengah ruangan berlantai tanah, Wak Acim, Ketua RT, Haji Sopian, Hajah Odah, dan tetangga-tetangga kami. Mereka melantunkan Yassin seakan-akan menusuk rasa ingin tahu. Di sudut ruangan, duduk meringkuk, Usin seorang diri. Seakan ia kedinginan dan disergap rasa kesepian. Dulu, ketiakku-lah yang menjadi tempat paling nyaman baginya untuk menitipkan rasa takut dan sedih. Kini ia terlihat tak lebih seperti benang basah.

Di tengah-tengah ruangan, terbujur kaku, Abah yang sudah dimandikan dan dikafan. Raut wajah Abah yang keriput dan gelap, seperti tertidur tenang dan menikmati Yassin yang dilantunkan untuknya.

Abah meninggal jam sepuluh pagi tadi.
Di sisa usia Abah, beliau terlihat rapuh dan letih. Sesekali saat aku mencucikan pakaian-pakaian kotor Abah, Usin dan Emak, aku menemukan bercak-bercak merah kecoklatan di baju kumal Abah. Apakah karena bercak itu yang kemudian menggiring Abah meniti rasa sakitnya seorang diri?

Kini aku dan Usin bagai rumah tanpa atap.
Berdiri tanpa kekuatan dan kebanggaan.
Selepas penguburan Abah, Usin banyak termenung di rumahnya yang kini sepi.
Tak ada suara Emak.
Tak ada suara Abah.
Tak ada suara Nok.
Kerabat dari pihak Abah, Wak Tajab, kemudian dengan ikhlas mengajak Usin untuk ikut tinggal di rumah mereka di Tangerang. Sementara rumah kami beserta isinya, dijual untuk kemudian dananya dijadikan biaya sekolah Usin.

Tak ada pilihan lain . Hanya getir.
Di rumah inilah kami sering tertawa dan menangis.
Merenda cerita dari lapar dan keringat.
Di sini pulalah kami menemukan cinta, walau akhirnya kandas tak bersisa.
Di sudut-sudut ruangan, kami sisipkan doa dan kenangan.

Agar Abah dan Emak tetap mencintai kami.
Memberi arti lebih dari pelukan dan rambut kepangan,
Mengajari kami betul-betul apa makna dari sesuap nasi
Memberi kami hangat di pagi hingga malam hari.
Dua hari kemudian, rumah itu telah benar-benar kosong dan berpindah tangan. Aku tidak tahu siapa pemilik barunya. Usin untuk waktu yang lama ,tinggal di rumah Wak Tajab yang berkumpul dengan istri dan empat orang anak.

Taruhlah , taraf hidup Usin sedikit lebih terjamin. Setidaknya sampai ia mampu menghidupi dirinya sendiri.
Tinggallah aku merenangi air mata tiada berkesudahan. Terperangkap dalam roda waktu yang terus berputar, memaksa diriku untuk membenci dan semakin membenci jasadku yang kotor dan berlumur sesalan.

Hari demi hari , aku semakin lupa siapa aku. Di mana aku. Atau untuk siapa aku hidup. Tatapan mataku kosong, tanpa ada hidup yang melingkupi rongganya. Di saat semua orang sibuk mengenyangkan perut, aku sudah lupa apa arti lapar dan kecewa. Bahkan sedih dan perih, seperti lebur menjadi sosok baru yang tidak menjadikanku takut lagi.

Kebaya tunik-tunik yang kupakai ini tak lepas dari tubuhku sejak seminggu yang lalu. Rambutku kusut dan mulai berketombe di sana- sini. Tubuhku kotor dan kumal. Ah, apalah artinya kotor. Toh sudah tak ada bedanya sekarang.

Awalnya Kang Dayat, memaksaku untuk membenahi diri. Mendorong-dorongku memakai baju yang menurutnya lebih layak, menyeretku ke kamar mandi dan mengguyuri tubuhku dengan air dingin, menyisiri rambutku dengan perasaan jengkel, hingga sering berhelai-helai rambutku tercerabut hingga akarnya.

Aku hanya bisa menangis.
Tapi aku tidak tahu, menangis untuk apa dan siapa.
Tetangga kami mulai sering membicarakanku. Dari tatapan mata mereka, aku menangkap rasa iba bercampur jijik. Mereka melihat ada sosok mengerikan yang berwujud seperti wabah menular. Lekas mereka menarik anak-anak mereka masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat, saat aku berjalan sore , sekedar menyapa awan dan hembusan angin . Maklumlah, aku, awan, dan angin bersaudara dekat, bahkan baru kemarin aku diajak terbang meniti lapis demi lapis mega. Aku yakin, tidak ada orang yang seberuntung aku.

Ternyata ketenanganku terusik.
Tidak sampai sebulan, Kang Dayat membawaku pergi jauh. Berencana betul ia rupanya. Disewanya sebuah mobil Fiat tua, dan didudukkannya aku di bangku depan. Dilemparkannya gembolan-ku yang berisi kebaya-kebaya pemberian Emak ke jok belakang.

Sepanjang jalan, kami saling diam dan mengunci bibir. Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat ini pun aku tidak mampu berfikir dalam alur yang terurai rapi. Semua meloncat-loncat dan terpotong menjadi kepingan-kepingan kecil yang terpisah. Sesekali hanya melintas sosok wanita kurus yang berwajah teduh, lain waktu muncul bayangan permen gulali, kali lain berkelebat bayangan gigi emas itu, lalu pantopel, lalu jambakan, darah, mandi bola dan semuanya seakan menjadi tak beraturan tanpa bingkai. Malah kadang semuanya menjadi lucu dan menggelikan. Seperti wajah Kang Dayat yang terlipat merengut, di mataku dia mirip sekali dengan bola warna-warni di taman bermain dulu.

Jauh sekali perjalanan kami.
Di dalam Fiat, berkali-kali aku menangis tersedu-sedu, berteriak ketakutan, lalu tertawa penuh kebahagiaan. Dengan mudah pula aku tertidur seperti bayi yang kekenyangan habis diteteki.

Tidurku terusik, tatkala Fiat kami memasuki halaman bangunan tua yang besar dan bertingkat-tingkat, bercat putih. Banyak sekali jendela berkisi-kisi di sana , dan di tiap jendela memiliki teralis besi yang juga dicat putih.
Sesekali Kang Dayat melirikku.
Air mukaku tetap sama.
Kosong .

Dituntunnya aku mendekati Ruang Receiption. Pandanganku lebih tertarik pada cicak gemuk yang menempel di bangku ruang tunggu. Berjongkok aku amati dia dengan penuh takjub. Seakan satu-satu buku jarinya mengandung aura keindahan. Indah? Salah! Itu salah! Tidak ada yang indah di sini. Semua gelap. Semua rancu! Semua hampa! Semua bohong! Ya, semua bohong! Termasuk cicak sialan itu. Sekuat tenaga kutinju tubuh gemuknya yang menggeliat ingin kabur. Braaaak! Kraaak.. Remuk sudah riwayat binatang hina itu! Darah dan daging cicak sialan itu terciprat dan belepotan di punggung tanganku. Puas. Rampung sudah tugasku sebagai penumpas kejahatan, menegakkan kebenaran di muka dunia. Kelegaanku kemudian kusempurnakan dengan tertawa lepas dan menari-nari.

“Ha..ha..ha…ela…elo…ela..elo…tang ting tung..hi..hi..hi”
Kang Dayat ternyata tak bisa mengikuti alur kebahagiaanku.
Dia malah menyembunyikan kepalanya dalam-dalam.
Malu.

Dua perempuan berbaju putih kemudian menyeretku ke dalam bangsal-bangsal yang panjang. Aku meronta. Aku ketakutan, dan menangis sejadi-jadinya.
“Tulung…tulung…..tulung !!!”
Sesekali disela rontaku, kepalaku menoleh ke belakang.
Sosok Kang Dayat semakin kecil, dan kecil di pelupuk mataku…

Di sinilah kemudian aku melanjutkan hidup.
Bangunan besar yang kemudian kutahu adalah sebuah Rumah Sakit Jiwa. Tempat berkumpulnya manusia-manusia yang terganggu jiwanya, atau kehilangan akal sehat dan kewarasannya. Menggali akar sebab trauma deritanya. Mengurai tangis dan tawanya tak lagi sebagai bentuk fantasi, tapi mengobati menjadi bentuk reaksi dari fenomena yang nyata.
Bangsal Anggrek , kamar nomor 5.

Semua di diriku telah berubah. Rambutku digunduli, agar aku tidak menyakiti diri sendiri, kata mereka. Padahal itu satu-satunya hartaku yang mengingatkanku akan kepangan Emak. Kebaya dari Emak yang kupakai pun dilucuti, dan diganti dengan piyama biru kedodoran. Di sini pun hampir tak ada yang perduli denganku. Semua sibuk memainkan pikiran dan mengurai fantasi, menjadi tokoh-tokoh ganjil.

Tapi di sini semua orang bicara jujur.
Di sini tidak ada intrik , politik, apalagi saling menyakiti.
Tak ada penghianatan dan caci maki.
Dari balik teralis jendela kamarku ini, kulihat Aster lebih indah dari sekedar Aster. Mereka lebih mirip terompet warna-warni yang bergoyang-goyang ditiup angin sore. Dua tiga tangkainya menjulur panjang , menarik minat kupu-kupu kuning yang hinggap di atasnya.

Di Rumah Sakit Jiwa inilah aku melanjutkan hidup dari sebatas insting binatang, yang hanya mampu merasakan lapar, senang, sedih, marah dan ketakutan, untuk mencapai kewarasan seperti manusia di luar tembok ini. Mengisi waktu dengan mensyukuri hidup, melalui nyanyian dan senam pagi.

Aku betul-betul menjadi manusia baru.
Yang terlahir tanpa nama, tanpa ingatan, apalagi mengenal arti kata dosa , luka , dan siksaan.
Ya, di sinilah rumahku sekarang.
Saat semua telah sempurna di mata kita,
Tidak ada alasan untuk kembali, bukan ?

Sudah sore.
Kututup kisahku ini dengan senyuman dan berbangga hati.
Bertabik kuserukan Wassalam.

***



Nariswari

(Pamulang, Maret 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENDAPAT KAMU ??