INDONESIA harus bangga dengan anak ini. dalam usia yang relativ muda sudah mampu menciptakan salah satu program yang menurut kacamatan kami yang awam ini sangat bagus dan membanggakan.
Artav Antivirus. Apa itu Artav? Baru dengar yang namanya Artav Antivirus? Silakan duduk sebentar buat menyimak cerita inspiratif dibalik kehebatan antivirus ini. Memang namanya belum setenar dan se-booming Smadav, antivirus lokal pendahulunya. Tapi pernahkah terlintas di benak teman-teman kalau antivirus yang satu ini penemunya adalah seorang muda-mudi usia belasan tahun, wow. Siapa penemunya? adalah Arrival Dwi Sentosa, remaja kelas 2 yang masih bersekolah menengah pertama di SMP negeri 48 Bandung. Perlu kita beri credit point, saat anak muda seusianya sibuk dengan urusan pubertasnya, anak muda yang satu ini sudah selangkah lebih awal melakukan sebuah inovasi canggih. Two Thumbs up for this guy
Mari kita mulai tengok kehebatan antivirus ini dari segi teknis. Meskipun ditemukan oleh remaja belia, fitur yang diciptakan tidak main-main. Fasilitas yang dimiliki Artav Antivirus pun boleh diadu di kelasnya. Artav Antivirus didukung oleh fitur Realtime Protection, Mail Scanner, Link Scanner & USB protected sampai Anti Hacker. Bahkan, di versi teranyarnya, Artav 2.4 memasukkan fitur Rootkit dan Worm Detector. Artav Antivirus, sampai saat ini mampu mendiagnosa hampir 2000 varian virus. Dan tentu perbendaharaan varian database nya akan terus bertambah seiring berjalanya waktu.
Bicara soal proses pembuatan, Ival (sapaan akrab Arrival) membutuhkan waktu 1 tahun. Itupun secara otodidak. Awal ketertarikan Ival dengan virus dimulai karena kesal komputer di rumahnya sering terkena virus. Disitu Ival mulai penasaran dengan kinerja virus yang menyerangnya, dia lalu mencari referensi dari buku & Internet lalu terjun mempelajari visual basic. Sampai pada akhirnya dicapailah sebuah penemuan yang mutakhir ini. Untuk urusan desain tampilan Artav Antivirus Ival dibantu oleh kakaknya, Taufik Aditya Utama. Yang juga masih bersekolah di bangku kelas 2, SMA 25 Negeri Bandung. Itu sebabnya antivirus ini dinamakan Artav, yang berarti singkatan dari Arrival Taufik Antivirus.
Ival juga bercerita, pada awalnya dia membagikan antivirus ini untuk teman-teman dan keluarganya. Mendapat dukungan yang baik, Ival pun akhirnya memberanikan diri mempublikasikan karyanya via facebook. Voila, respon dari khalayak di facebook ternyata sangat positif. Kabarnya sampai saat ini Artav Antivirus sudah diunduh lebih dari 20.000 user lokal maupun interlokal. Cool, sebuah pencapaian yang fantastis untuk remaja seusinya. Langsung saja buat teman-teman yang penasaran dengan karya hebat si cilik ini, bisa langsung unduh aplikasinya disini. Atau boleh juga berkunjung ke website official artav antivirus. Mari kita beri apresiasi yang meriah untuk karya tunas bangsa ini
Minggu, 31 Juli 2011
Rabu, 27 Juli 2011
Tips-tips bermain Empires & Allies mendapatkan point empires dengan mudah
Tips-tips bermain Empires & Allies
sebelum lanjut membaca artikel ini sebaiknya anda memahami dan pernah memainkan game ini. game ini menurut saya dapat melihat sifat dan kejelian anda dalam strategi, hal ini dapat dilihat tinggi dan rendahnya level hati merah dan hati hitam di propil anda.
Sudah tahu game empires & allies bukan, game besutan zynga ini adalah game Real Time Strategy atau RTS online yang yang cukup enak untuk dimainkan, game ini dapat kita mainkan di facebook, tentunya jika anda ingin mencicipi serunya game ini anda boleh login dulu di account facebook ada terlebih dahulu.
Apa sih serunya game ini?, bagi anda penggemar game-game RTS seperti Age of Empire dan sebangsanya anda tidak akan kesulitan untuk beradaptasi dengan interface game ini.
Pada saat pertama saya menulis tyentang game ini, ternyata banyak visitor yang data ke halaman saya dan ada juga yang langsung bertanya tips-tips dalam bermain game ini supaya dapat menyelesaikan misi-misi yang ada dengan cepat.
Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan antara lain:
1. Bagaimana mendapatkan energy?
Sebagaimana kita ketahui dalam game ini energy adalah hal yang utama, hampir seluruh pekerjaan yang akan dilakukan seperti membangun, memanen, mengambil sumberdaya, membersihkan daerah, berperang, membantu teman memerlukan energy. Energy sebenarnya akan bertambah setiap 5 menitan. Tetapi apakah kita akan menunggu lima menit untuk medapatkan energy, energy juga dapat ditingkatkan dengan mengunjungi tetangga dan membantu setiap pekerjaannya serta berperang dalam misi yang diberikan dan juga dengan meminta kepada tetangga.
2. Bagiamana mendapatkan surat perluasan?
Surat perluasan didapatkan dengan cara menyelesaikan satu misi melawan musuh ataupun meminta kepada tetangga
3. Bagiamana mendapatkan gold, copper, aluminium, uranium dan iron?
Sebenarnya sumberdaya logam hanya dimiliki salah satunya oleh setiap pemain sehingga anda akan kekurangan empat sumber daya logam. Jadi bagaimana mendapatkannya? Selain meminta kepada tetangga anda dapat membantu tetannga anda menambang tambang logam yang kita inginkan saat kita mengunjungi kerajaannya, juga dapat didapatkan dengan berperang melawan musuh ataupun pergi ke pasar teman yang menjual logam yang kita inginkan.
4. Bagiamana meningkatkan level dengan cepat?
Level dapat ditingkatkan dengan banyak melakukan kegiatan, setiap kegiatan akan menghasilkan satu experience sehingga experience baru akan naik, selain itu berperang dalam misi atau melawan musuh, menginvasi akan meningkatkan experience dengan cepat.
5. Bagaimana cara menambah tetangga yang banyak?
Tetangga yang banyak adalah kunci utama dari permainan ini, dengan tetangga yang banyak kita dapat meminta pertolongan kepada tetangga: baik energy, barang-banrang, perlindungan, logam jenis lain. Dengan tetangga yang banyak reload energy juga dapat kita lakukan dengan membantu tetangga sehingga. Pada prinsipnya game ini menitik beratkan pada banyaknya tetangga makin banyak tetangga yang kita miliki maka makin banyak resource yang akan kita dapatkan. So… bangaimana mendapatkan tetangga yang banyak? Tentunya dengan menginvite seluruh teman-teman anda tapi trik ini kadang kala berjalan lambat dan kadang tidak semua teman kita di facebook mau memainkan game ini. Kalau begitu ane punya jalan keluarnya coba cari di pencarian facebook kata “empires & allies” terus cari komutis yang bercirikan “empires & allies” join disana terus comment dech disana misalnya:
- Add me please
- I am Empire & Allies Addited, add me please
- You Add me, I will add you
dan sebagainya
Terus jadikan orang-orang dalam komunitas itu sebagai teman anda dan kemudian undang untuk bermain dengan senang hati pasti mereka menerima undangan anda.
dalam invasi kadang kita lupa bahwa lawan lebih berat dari kita untuk itu saya kasih sedikit srateginya :
pasukan taruna atau ifantri harus dilawan dengan tank
pasukan tank harus dilawan dengan meriam
pasukan meriam harus dilawan dengan infantri
untuk mengacu ke target clik dulu pasukan kita yang akan kita perintahkan menembak, contohnya untuk memusnahkan tank kita clik pasukan meriam kita trus arahkan ke tank musuh; pastikan target telak. begitu juga dengan pasukan lainya.
jika masih ada yg ingin ditanyakan silahkan komentar disi
sebelum lanjut membaca artikel ini sebaiknya anda memahami dan pernah memainkan game ini. game ini menurut saya dapat melihat sifat dan kejelian anda dalam strategi, hal ini dapat dilihat tinggi dan rendahnya level hati merah dan hati hitam di propil anda.
Sudah tahu game empires & allies bukan, game besutan zynga ini adalah game Real Time Strategy atau RTS online yang yang cukup enak untuk dimainkan, game ini dapat kita mainkan di facebook, tentunya jika anda ingin mencicipi serunya game ini anda boleh login dulu di account facebook ada terlebih dahulu.
Apa sih serunya game ini?, bagi anda penggemar game-game RTS seperti Age of Empire dan sebangsanya anda tidak akan kesulitan untuk beradaptasi dengan interface game ini.
Pada saat pertama saya menulis tyentang game ini, ternyata banyak visitor yang data ke halaman saya dan ada juga yang langsung bertanya tips-tips dalam bermain game ini supaya dapat menyelesaikan misi-misi yang ada dengan cepat.
Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan antara lain:
1. Bagaimana mendapatkan energy?
Sebagaimana kita ketahui dalam game ini energy adalah hal yang utama, hampir seluruh pekerjaan yang akan dilakukan seperti membangun, memanen, mengambil sumberdaya, membersihkan daerah, berperang, membantu teman memerlukan energy. Energy sebenarnya akan bertambah setiap 5 menitan. Tetapi apakah kita akan menunggu lima menit untuk medapatkan energy, energy juga dapat ditingkatkan dengan mengunjungi tetangga dan membantu setiap pekerjaannya serta berperang dalam misi yang diberikan dan juga dengan meminta kepada tetangga.
2. Bagiamana mendapatkan surat perluasan?
Surat perluasan didapatkan dengan cara menyelesaikan satu misi melawan musuh ataupun meminta kepada tetangga
3. Bagiamana mendapatkan gold, copper, aluminium, uranium dan iron?
Sebenarnya sumberdaya logam hanya dimiliki salah satunya oleh setiap pemain sehingga anda akan kekurangan empat sumber daya logam. Jadi bagaimana mendapatkannya? Selain meminta kepada tetangga anda dapat membantu tetannga anda menambang tambang logam yang kita inginkan saat kita mengunjungi kerajaannya, juga dapat didapatkan dengan berperang melawan musuh ataupun pergi ke pasar teman yang menjual logam yang kita inginkan.
4. Bagiamana meningkatkan level dengan cepat?
Level dapat ditingkatkan dengan banyak melakukan kegiatan, setiap kegiatan akan menghasilkan satu experience sehingga experience baru akan naik, selain itu berperang dalam misi atau melawan musuh, menginvasi akan meningkatkan experience dengan cepat.
5. Bagaimana cara menambah tetangga yang banyak?
Tetangga yang banyak adalah kunci utama dari permainan ini, dengan tetangga yang banyak kita dapat meminta pertolongan kepada tetangga: baik energy, barang-banrang, perlindungan, logam jenis lain. Dengan tetangga yang banyak reload energy juga dapat kita lakukan dengan membantu tetangga sehingga. Pada prinsipnya game ini menitik beratkan pada banyaknya tetangga makin banyak tetangga yang kita miliki maka makin banyak resource yang akan kita dapatkan. So… bangaimana mendapatkan tetangga yang banyak? Tentunya dengan menginvite seluruh teman-teman anda tapi trik ini kadang kala berjalan lambat dan kadang tidak semua teman kita di facebook mau memainkan game ini. Kalau begitu ane punya jalan keluarnya coba cari di pencarian facebook kata “empires & allies” terus cari komutis yang bercirikan “empires & allies” join disana terus comment dech disana misalnya:
- Add me please
- I am Empire & Allies Addited, add me please
- You Add me, I will add you
dan sebagainya
Terus jadikan orang-orang dalam komunitas itu sebagai teman anda dan kemudian undang untuk bermain dengan senang hati pasti mereka menerima undangan anda.
dalam invasi kadang kita lupa bahwa lawan lebih berat dari kita untuk itu saya kasih sedikit srateginya :
pasukan taruna atau ifantri harus dilawan dengan tank
pasukan tank harus dilawan dengan meriam
pasukan meriam harus dilawan dengan infantri
untuk mengacu ke target clik dulu pasukan kita yang akan kita perintahkan menembak, contohnya untuk memusnahkan tank kita clik pasukan meriam kita trus arahkan ke tank musuh; pastikan target telak. begitu juga dengan pasukan lainya.
jika masih ada yg ingin ditanyakan silahkan komentar disi
Kamis, 21 Juli 2011
Sebuah cerpen mengharukan' Teratai layu
Kami tak pernah tahu mengapa kami kelak dilahirkan,
Kami juga buram arti kata sayang dan peduli
Yang kami tahu dendam dan caci
Fasih berkata lacur merajam hati
Kala bulan semakin jauh,
Kami meniti nirwana tiada pasti…
( Nariswari )
Dari teralis jendela Rumah Sakit Jiwa Bogor, aku terlihat begitu kecil dan lemah. Bunga-bunga Aster dan Camelia berpencar-pencar selang-seling di antara semak liar. Tampak Pak Dung, begitu aku menyebutnya, sedang asyik bergumam dengan bahasanya sendiri. Kabar yang kudengar dari Om Dokter yang sering memberi pil dan kertas gambar padaku, ia berat ditinggal istri. Sibuk marah-marah , disebelahnya berdiri Mama Dona. Aku agak takut jika bertemu dia. Dengan lancung dia selalu marah dan memaki orang-orang yang ditemuinya. Entahlah, aku takut dengan dia…atau aku takut dengan kemarahan itu sendiri.
Namaku Wati. Panggil aku Nok. Emak biasa memanggilku Enok. Panggilan sayang bagi anak perempuan di Cirebon. Perasaan kami sangat dekat, bahkan hingga kini, saat aku dirawat di rumah sakit jiwa ini. Atau terperangkap dan dikurung , lebih tepatnya.
Marilah kita mulai kisah ini.
Aku dan adikku tinggal dengan Emak dan Abah di sebuah desa kecil di Cirebon. Kami hidup sangat sederhana. Abah sering bilang ke kami, di balik kesederhanaan kami, di situ selalu ada harapan dan usaha. Abah selalu membesarkan hati kami. Beliau sering bilang, bahwa suatu hari nanti, kami juga mampu untuk memiliki sepatu pantopel yang amat kami idam-idamkan. Di desa kami, hanya anak Pak Lurah yang mampu membelinya. Dan yang membuat kami semakin sedih, ia membeli dua pasang sekaligus! Ah…biarlah kisah sedih tentang anak Pak Lurah itu berlalu.
Menggantungkan hidup dari pendapatan Abah yang hanya sebagai penggarap ladang milik Haji Sopian, tentu tidaklah cukup. Emak mati-matian memutar otak untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, dengan menjadi buruh cuci di kawasan perumahan yang lokasinya berdekatan dengan desa kami. Pagi-pagi sekali Emak berangkat sambil membawa tembalong cucian.
Air muka Emak capek.
Sering aku memergoki Emak termenung saat sore hari, setibanya aku dari sekolah. Aku masih terlalu kecil untuk merenangi isi benaknya.
Adikku Usin-lah yang sering menghibur. Pandai sekali dia membuat Emak tertawa dan membuat lupa akan sedih dan gaulananya.
Jika ada orang bilang bahwa uang dapat mendatangkan kebahagiaan, mungkin ada benarnya. Dan aku percaya akan hal itu. Abah dan Emak sering bertengkar karena hal sepele. Mulai dari masalah lupa membawa kayu bakar, lauk keasinan, lupa menjerang air untuk minum, sampai ke hal yang paling intim, yang seharusnya kami tak perlu mendengar.
Usin sering menangis tersedu-sedu saat melihat Abah dan Emak kerap bertengkar. Apalagi saat mendengar Abah berteriak dan menggebrak bale-bale tempat biasa mereka tidur, Usin langsung cepat-cepat menubruk aku dan menyusupkan kepalanya dalam-dalam ke ketiakku. Usin tidak tahu, ketakutannya mungkin tidak lebih besar dari ketakutanku…
Hingga suatu pagi, saat embun menjemput matahari, teriakan Usin memecah kesunyian. Seruannya penuh nada kepanikan dan takut. “ Tolong….Emak….tolong…tolong….Emak !!!” Teriak Usin seakan memukul-mukul dinding anyaman bambu tempat tinggal kami. Bergema menusuk kuping.
Berhamburan aku dan Abah menghampiri Usin yang tertelungkup menangis tersedu-sedu di pawon kami. Setiap subuh, Usin memang selalu rajin menunaikan sholat . Ia selalu mengambil wudhu dari tempayan di pawon. Saat masih gelap dia enggan keluar rumah , karena takut oray katanya. Di samping Usin, ada ketel yang mendidih di atas kayu bakar. Emak yang menjerangnya.
“Bah…Emak…Emak…”
Tubuh Emak kaku tergantung di seutas tali di langit-langit pawon.
Pagi itu kami menikmati air matang buatan Emak yang terakhir.
Kami sedih sekali dengan kepergian Emak. Begitupun dengan Abah. Disuruhnya kami memberitahu tetangga-tetangga kami di desa akan kepergian Emak. Tapi Abah wanti –wanti pada kami, “Bilang saja , mati lara…”.
Dengan sisa uang seadanya, Abah menyuguhkan kacang kulit dan teh pahit pada tetangga-tetangga kami yang datang melayat. Pihak masjid di desa kami berbaik hati menyumbangkan kain kafan dan biaya penguburan Emak. Haji Sopian, juragan Abah, menyumbang sepuluh ekor ayam sebagai tanda bela sungkawa.
Aku dan Usin duduk terpekur di pawon, tempat terakhir Emak menitipkan hidup. Atau lebih tepatnya…menggantungkan hidup. Dan menggantung dalam arti yang sebenarnya.
Seperti rekaman film 8 mm, kenangan Emak kembali bermain-main di pelupuk mataku.
Dulu, sewaktu aku berusia lima tahun, Emak sering mengepang rambutku yang panjang. Dari tangannya yang berkerut-kerut dan kurus, aku begitu menikmati tiap gerakan kepangannya. Silang ke kanan, silang ke kiri, dan sesekali diselingi dengan lagu Cirebonan yang dikumandangkan Emak. Lirih, tapi aku sungguh menikmati.
Kawarnaa Njeng Sunan Ngampelgading
Wus lami nggennya dhedhukuh
Sampun tengkar tumangkar
Langkung arja yata wau dhukuh ipun
Agemah dadi Negara
Katah ingkang sobat murid…
(Sunan sudah lama membangun pemukiman, penduduknya berkembang banyak, hidupnya makmur, dan tumbuh menjadi kota yang indah yang banyak dikunjungi pendatang dari jauh...)
Emak juga pernah mengajakku ke komedi putar. Usin masih terlalu kecil saat itu untuk diajak keluar malam hari. Usin ditinggal di rumah bersama Abah. Waktu itu ada komedi putar yang tampil di desa kami. Banyak sekali pedagang jajanan pasar dan mainan di sana. Emak mengajakku bermain mandi bola. Waaah…begitu banyak bola-bola kecil di bak kawat. Seperti kolam bola! Dengan lima ratus perak, Emak memanjakanku bermain sepuasnya di kolam bola. Sementara Emak dengan pandangan berkaca-kaca berjongkok di sudut tiang tenda pedagang buah. Seakan ia begitu menikmati kerianganku. Maklumlah, aku hampir tidak pernah dibelikan mainan oleh Abah dan Emak. Sering aku dan Usin merengek minta mainan. Dengan tenangnya Abah bilang, mainan yang paling bagus adalah alam. Jawabannya kerap bikin aku dan Usin kebal dan sebal.
Pulang dari komedi putar, Emak membelikanku permen gulali. Emak menyebutnya, permen orang kota. Sayang, sepulang dari komedi putar malam itu, hujan deras. Emak memeluk aku erat dan melindungi kepalaku dari hujaman air hujan.
Di pelukan Emak aku hangat.
Banyak kisah manisku bersama Emak, yang mustahil terhapus dari ingatanku. Sewaktu pertama kali aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Emak pernah memujiku,
“ Nok…kowe cakep. Aja nelangsa kayak Mak-mu ya.”
Mata Emak berkaca-kaca menatapku lekat.
Emak juga cantik, pikirku.
Kenanganku tentang Emak semakin kuat, saat beliau tiada. Tiap benda di rumah kami mengingatkanku akan Emak. Terutama tembolong cucian itu. Dari situlah kami bisa makan dan bersekolah. Dan setidaknya, masih memiliki harapan untuk memiliki sepatu pantopel seperti milik anak Pak Lurah.
Usiaku sudah menginjak tiga belas tahun, saat mendapat menstruasi pertama. Aku panik dan menangis ketakutan, saat sepulang dari sekolah, mendapati celana dalamku berwarna merah. Malu bercerita pada Usin dan Abah, aku lekas bertanya pada Hajah Odah, guru mengaji di desa kami. Ia-lah yang mengenalkan pembalut padaku untuk pertama kalinya.
Di tahun yang sama, Abah berkata padaku suatu malam, “Nok, macak sing rapih. Ana perjaka teka arep lamaran…”
Percaya atau tidak, aku kemudian menikah dengan seorang pria yang jauh lebih tua dari usia Abah, yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Dari matanya, Abah sangat berharap aku mau menerima pernikahan ini. Aku kasihan dengan Abah. Aku berpikir, dengan aku menerima pinangan ini, sudah berkurang beban Abah untuk mencukupi satu mulut.
Dan taruban-pun digelar. Pinangan dan bunga-bunga dironce. Janur dipasang gagah di ujung desa. Abah sibuk bersalam-salaman dengan kerabat besan. Usin duduk sendirian , bingung menatap hiruk pikuk orang. Calon suamiku, Kang Dayat, memakai jas hitam dan kopiah. Semua tamu memujinya ganteng. Kecuali aku. Entahlah, mungkin karena semua ini tidak diawali oleh cinta.
“ Saya terima nikahnya Wati binti Thoyib dengan mas kawin seperangkat alat sholat…”
Kami menikah.
Di usia yang sebelia itu, aku masih ingin tahu banyak dunia luar. Tentang keindahan kota, sekolah sampai tingkat tinggi, dan lain-lain , agar hidupku tidak lagi nelangsa seperti pesan Emak.
Apa lacur, hidupku tak jauh dari mengangkang di ranjang, meneteki suami (berhubung kami belum dikaruniai anak) , dan berbenah di rumah Kang Dayat.
Semenjak tinggal serumah dengan Kang Dayat, aku jarang bersilaturahmi dengan Abah dan Usin di desa. Selain aku buta akan rute jalan, aku juga menghormati Kang Dayat. Aku tidak mau mencuri-curi waktu untuk keluar saat dia tak ada di rumah.
Secara garis besar, Kang Dayat baik. Dia mencukupi semua kebutuhanku. Mulai dari rumah yang kami tempati, makan minum, sampai ke perhiasan. Kang Dayat sering membawa uang gepokan ke rumah. Aku kaget bukan kepalang. Dengan tangan bergetar, aku memegang gepokan uang itu. Baru kali itu dalam hidupku, aku melihat dan memegang uang sebanyak itu !
Banyak sifat dari Kang Dayat yang aku teladani. Dia penyabar, dan bicaranya seperti orang kota yang halus dan santun. Berbeda dengan aku yang terkesan urakan dan kasar. Bahkan aku biasa berteriak-teriak saat memanggil Abah di ladang untuk makan. Atau mengingatkan Usin untuk mencari kayu bakar.
Kang Dayat kadang membawakanku sisir tanduk kerbau dan pupur mangir. Dia bilang aku cantik, dan akan semakin cantik jika dandan. Ah…tiba-tiba aku jadi ingat Emak. Dulu rambut ini Emak yang menyisir. Kini, aku terpaksa menata rambutku sendiri dan memberi pupur di pipiku yang ranum. Hanya satu yang belum aku bisa, mengepang rambut. Rindu rasanya dikepang Emak di bale-bale rumah.
Sebelum kami menikah, Abah memperkenalkan Kang Dayat padaku sebagai pedagang di kota. Di kota mana, berdagang apa, aku pun tidak tahu. Karena pada saat itu yang kurasakan hanya perasaan takut, marah, dan sedih tak terperi. Abah tega. Tapi aku juga tega jika membangkang titah Abah. Toh aku yakin, ada maksud baik dibalik nikah paksa ini.
Tiap hari, Kang Dayat berangkat menjelang sore, dan pulang kembali sampai di rumah menjelang ayam jantan keluar dari peraduan. Selalu, sesampainya di rumah, Kang Dayat langsung menuju tempat tidur, dan mengurai mimpi. Baru agak siang setelah Kang Dayat bangun, kami bertukar cerita. Dari Kang Dayat-lah aku membayangkan betapa indahnya kota. Ada mobil , motor, bangunan tinggi, sampai makanan kota yang asing aku dengar, seperti soes, bolu, bika, atau apalah. Membayangkannya pun aku letih, mungkin karena aku terlalu banyak bermimpi.
Sering Kang Dayat memintaku untuk pindah ke kota. Bermaksud baik meninggalkan desa tempat aku lahir dan dibesarkan, untuk meraih impian dan harapan. Aku masih tidak yakin. Aku berat meninggalkan Abah dan Usin. Walau kami sudah amat jarang bertemu, tapi setidaknya aku masih tinggal di desa yang sama, meminum air dari kali yang sama, dan berselimut langit yang sama.
Kang Dayat kalah.
Kami tidak jadi hijrah ke kota.
Bahkan yang sangat menggembirakanku, akhir-akhir ini Kang Dayat sering di rumah menemani aku, dan tidak lagi pulang pagi. Saat aku tanya, “ Apa Akang tidak kerja ? “ Dia hanya tersenyum manis dan membelai rambutku.
Seperti membuka pintu neraka lebar-lebar, begitu mudahnya aku membiarkan kisah sedih menjadi petaka di kemudian hari…
Suatu pagi, datang dua orang lelaki, ke rumah kami. Lelaki satu berperawakan pendek gemuk dan berkulit hitam, sepertinya seumuran dengan Kang Dayat. Lalu yang satunya berperawakan sedang, memakai dua gigi emas ( dan itulah yang mungkin menyebabkan ia sering menyeringai agak mengerikan..) dan rambutnya tertata rapi memakai pomade. Kang Dayat menyambut mereka dengan baik, kelewat ramah malah.
Dikenalkannya aku pada mereka. Si gemuk pendek itu ternyata bernama Sarmo, dan si gigi emas bernama Wanto.
Lalu Kang Dayat memintaku membuat kopi dan makanan kecil di dapur. Sayup-sayup aku mendengar mereka berbisik-bisik lalu tertawa terbahak-bahak. Ah, senang rasanya saat pasangan kita berbahagia seperti itu.
Saat aku menyuguhkan kopi dan jadah goreng di meja tamu, Kang Dayat memintaku segera masuk ke kamar . “ Dandan sing cakep ya Ti…”
Tiba-tiba aku merinding mendengar ucapannya. Aku jadi ingat Abah, saat memintaku dandan saat nikah paksa.
“ Ngapa Kang? “
“Wis lah, aja akeh tanya. Dandan sing cakep. Titik !”
Dari balik gordyn kamar, aku sempat melihat kedua lelaki itu memberikan sejumlah uang pada Kang Dayat. Mereka berjabat tangan, dan Kang Dayat pun minta diri dari rumahnya sendiri.
Ditinggalnya aku sendirian di kamar dengan cepukan-cepukan bedak dan sisir tanduk kerbau. Pikiranku berkecamuk tidak tenang. Rasa panikku terjawab saat kedua lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamar tidurku. Senyuman mereka membuat semua pembuluh-pembuluh darahku mengencang, dan jantungku berdegub cepat, mengikuti ritme ketegangan yang tak beraturan. Si pendek gemuk mulai melucuti pakaiannya satu persatu, lalu disusul dengan lelaki satunya. Aku terlonjak dari kursi, dan menghalau mereka masuk ke dalam. Tanganku yang kurus dan kecil ternyata tak mampu melawan desakan mereka. Dengan mudahnya mereka menghempaskan aku ke atas ranjang. Aku terus meronta, dan menendangi tubuh telanjang mereka. Keringatku deras mengucur, seiring dengan ketakutanku yang kian memuncak. “Akang….tulung Wati Kang….Kang…tulung !” Teriakanku tak lebih dianggap mereka rengekan anak kecil yang meminta mainan. Bukannya iba , mereka malah semakin bersemangat untuk menindihku. Sekonyong-konyong, aku berteriak sekuat tenaga , “Akaaaaaaang!!!!!!!!!!!!....” Teriakanku terhenti saat Sarmo menghajar wajahku dengan kepalan tangannya yang besar. Bukan hanya kekejian yang bicara di situ, tapi juga birahi. Sejurus kemudian aku sudah tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi semenit, sejam, atau setengah hari kemudian. Bergumul dengan arti kata nafsu bak binatang, mereka menyeretku ke dalam liang derita dan aib berkepanjangan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “Gojegan Manten” dari radio tetangga sebelah…
Sorenya Kang Dayat pulang. Dia membawa baju-baju baru untukku. Dijinjingnya tiga potong baju baru itu dalam kantong semen. Ada yang motif bunga-bunga seperti punya gadis kota, ada yang memakai renda merah, dan baju tanpa lengan. Aku tak bisa membayangkan , apa kata Hajah Odah saat aku memakai baju seperti itu saat datang ke surau.
Bukannya senang karena suami datang, aku malah menangis dan menghambur ke kamar mandi. Jongkok bertelanjang aku di kamar mandi, segayung demi segayung air dingin kusiramkan ke tubuh kotorku itu. Berkali-kali kugosok-gosokkan seluruh tubuhku dengan penuh amarah dan kebencian. Tubuhku sudah dilumuri najis. Di luar, Kang Dayat mengetuk pintu kamar mandi perlahan.
“Ti…buka Ti. Ana kelambi anyar Ti..Cakep. Buka Ti…”
Air mataku menitik satu-satu.
Teringat Emak, Abah, dan Usin. Tiba-tiba aku terdorong ingin kembali ke desa. Ke rumah Abah.
Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk segera beranjak dari kamar mandi, lalu menerobos keluar menuju kamar tidur. Bersiap untuk kemas-kemas dan pergi dari rumah laknat itu.
Sudah tak ada lagi Kang Dayat yang aku hormati.
Jauh kulempar keinginan untuk berlama-lama di rumah itu.
Hilang semua bayangan manis yang kurajut dengan susah payah bersama Kang Dayat. Aku sudah cukup berbangga hati saat suamiku itu memboyongku ke sebuah rumah yang nyaman, membelikan pupur dan sisir tanduk kerbau, dan menikahiku dengan meriahnya taruban yang tentu saja membuat bangga setiap anak gadis desa yang lugu seperti aku.
Tapi semua lenyap tak bersisa. Kang Dayat tak lebih dari pria nista yang keji menjual istrinya.Bagai topan yang menerpa atap-atap rumbia di pesisir, semua hilang tak berbekas. Hanya menyisakan duka pilu yang menggoreskan sejarah bahwa di sana pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.
Kemuakan menyeruak, saat aku memasuki lagi kamar jahanam itu. Kelambu yang koyak, kain batik seprei yang kusut masai, kursi yang terguling, bantal dan guling seakan menusukku hingga ke pelung sum-sum.
Perih, Emak. Perih.
Aku masukkan empat potong kebayaku yang pernah Emak beri. Hanya itu yang kubawa. Air mata, perih, aib dan darah pun serta.Tak perlu emas, pupur cepukan, sisir tanduk kerbau , dan baju-baju pemberian Kang Dayat. Kulipat asal kebaya-kebaya itu ke dalam kain batik, lalu kusimpul menjadi gembolan. Langkahku bulat untuk pergi, saat Kang Dayat menghadangku di pintu kamar.
“Aja lunga Ti…”
“Akang kejam! Akang tega menjual Wati! Wati benci! Benci! Akang jahat !”
Aku luapkan makian dan sempalan rasa marah yang meradang. Melihat sorot mata Kang Dayat, aku telah kehilangan kata-kata. Semua unsur kebaikan dan kebajikan telah sirna , berganti dengan kenistaan dan keji.
Kudesak tubuh kekarnya agar tidak menghalangi jalanku keluar kamar. Tangan Kang Dayat ternyata lebih sigap dari kata-katanya. Di seretnya tanganku , lalu dihempaskan badanku yang ringkih ke atas ranjang laknat.
“Minggir Akang! Wati mau minggat! Wati ora sudi!”
Kutepis tangan Kang Dayat, lalu berusaha lari menghambur keluar. Langkahku terhenti, saat Kang Dayat menjambak dan mengoyak rambutku , dari belakang, lalu menghentakkanku keras ke lantai.
“Coba minggat kalau berani !”
Setelah kurunut alur kejadian-kejadian sebelumnya, mengapa Kang Dayat sering pulang pagi, bawa uang banyak, dan terakhir tega memperlakukan istrinya serendah ini, barulah aku tersadar Kang Dayat tak lebih seorang germo di kota.
Aku tersuruk ke tanah, seperti binatang keok yang kehabisan nyali. Dadaku perih. Sesak, ingin meledak.
Air mataku menetes satu-satu.
Tiba-tiba aku teringat Emak.
Kini ku tak yakin mampu membedakan rasa gulali pemberian Emak antara manis atau getir…
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “ Randa” dari radio tetangga sebelah…
Maka dimulailah prahara dan neraka itu.
Semenjak Kang Dayat bersikap kasar dan keji padaku, aku mati rasa. Warna langitku abu-abu. Pupus sudah harapan dan impianku. Teringat aku akan sepatu pantopel, mandi bola, baju bagus, sepeda , dan banyak lagi.
Tulang dan sendiku seakan terlepas dari rangkanya. Mata dan bathinku seakan melaju pada cabangnya sendiri-sendiri. Aku kehilangan huruf dan angka. Aku kehilangan makna cinta dan pelangi. Aku serasa ada dalam jasad yang telah lama mati.
Kejadian keji itu ternyata berulang lagi. Dengan orang-orang aneh yang asing di mataku. Dan aku sudah tidak perduli lagi akan diriku sendiri. Betul-betul aku sudah mati. Hanya jasadku yang enggan melepas tali nafas , hingga orang bilang aku masih hidup. Kali ini Kang Dayat lebih terang-terangan padaku. Dua kali, tiga kali, tujuh kali, entah berapa kali …aku bias untuk membilang. Hingga aku ragu, Kang Dayat atau aku yang telah kehilangan kewarasan?
Sampai pada kesimpulan bahwa cinta itu tidak ada.
Koreklah ke diriku yang paling dalam, hanya akan kau temukan luka penuh darah dan nanah.
Dan aku mulai ragu…apa Tuhan itu ada ?
Sementara itu, di tempat lain, di hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama.
Nun jauh di rumah sederhana tempat aku, Usin, Emak dan Abah tinggal, sedang dilangsungkan pengajian. Berkerumun di tengah-tengah ruangan berlantai tanah, Wak Acim, Ketua RT, Haji Sopian, Hajah Odah, dan tetangga-tetangga kami. Mereka melantunkan Yassin seakan-akan menusuk rasa ingin tahu. Di sudut ruangan, duduk meringkuk, Usin seorang diri. Seakan ia kedinginan dan disergap rasa kesepian. Dulu, ketiakku-lah yang menjadi tempat paling nyaman baginya untuk menitipkan rasa takut dan sedih. Kini ia terlihat tak lebih seperti benang basah.
Di tengah-tengah ruangan, terbujur kaku, Abah yang sudah dimandikan dan dikafan. Raut wajah Abah yang keriput dan gelap, seperti tertidur tenang dan menikmati Yassin yang dilantunkan untuknya.
Abah meninggal jam sepuluh pagi tadi.
Di sisa usia Abah, beliau terlihat rapuh dan letih. Sesekali saat aku mencucikan pakaian-pakaian kotor Abah, Usin dan Emak, aku menemukan bercak-bercak merah kecoklatan di baju kumal Abah. Apakah karena bercak itu yang kemudian menggiring Abah meniti rasa sakitnya seorang diri?
Kini aku dan Usin bagai rumah tanpa atap.
Berdiri tanpa kekuatan dan kebanggaan.
Selepas penguburan Abah, Usin banyak termenung di rumahnya yang kini sepi.
Tak ada suara Emak.
Tak ada suara Abah.
Tak ada suara Nok.
Kerabat dari pihak Abah, Wak Tajab, kemudian dengan ikhlas mengajak Usin untuk ikut tinggal di rumah mereka di Tangerang. Sementara rumah kami beserta isinya, dijual untuk kemudian dananya dijadikan biaya sekolah Usin.
Tak ada pilihan lain . Hanya getir.
Di rumah inilah kami sering tertawa dan menangis.
Merenda cerita dari lapar dan keringat.
Di sini pulalah kami menemukan cinta, walau akhirnya kandas tak bersisa.
Di sudut-sudut ruangan, kami sisipkan doa dan kenangan.
Agar Abah dan Emak tetap mencintai kami.
Memberi arti lebih dari pelukan dan rambut kepangan,
Mengajari kami betul-betul apa makna dari sesuap nasi
Memberi kami hangat di pagi hingga malam hari.
Dua hari kemudian, rumah itu telah benar-benar kosong dan berpindah tangan. Aku tidak tahu siapa pemilik barunya. Usin untuk waktu yang lama ,tinggal di rumah Wak Tajab yang berkumpul dengan istri dan empat orang anak.
Taruhlah , taraf hidup Usin sedikit lebih terjamin. Setidaknya sampai ia mampu menghidupi dirinya sendiri.
Tinggallah aku merenangi air mata tiada berkesudahan. Terperangkap dalam roda waktu yang terus berputar, memaksa diriku untuk membenci dan semakin membenci jasadku yang kotor dan berlumur sesalan.
Hari demi hari , aku semakin lupa siapa aku. Di mana aku. Atau untuk siapa aku hidup. Tatapan mataku kosong, tanpa ada hidup yang melingkupi rongganya. Di saat semua orang sibuk mengenyangkan perut, aku sudah lupa apa arti lapar dan kecewa. Bahkan sedih dan perih, seperti lebur menjadi sosok baru yang tidak menjadikanku takut lagi.
Kebaya tunik-tunik yang kupakai ini tak lepas dari tubuhku sejak seminggu yang lalu. Rambutku kusut dan mulai berketombe di sana- sini. Tubuhku kotor dan kumal. Ah, apalah artinya kotor. Toh sudah tak ada bedanya sekarang.
Awalnya Kang Dayat, memaksaku untuk membenahi diri. Mendorong-dorongku memakai baju yang menurutnya lebih layak, menyeretku ke kamar mandi dan mengguyuri tubuhku dengan air dingin, menyisiri rambutku dengan perasaan jengkel, hingga sering berhelai-helai rambutku tercerabut hingga akarnya.
Aku hanya bisa menangis.
Tapi aku tidak tahu, menangis untuk apa dan siapa.
Tetangga kami mulai sering membicarakanku. Dari tatapan mata mereka, aku menangkap rasa iba bercampur jijik. Mereka melihat ada sosok mengerikan yang berwujud seperti wabah menular. Lekas mereka menarik anak-anak mereka masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat, saat aku berjalan sore , sekedar menyapa awan dan hembusan angin . Maklumlah, aku, awan, dan angin bersaudara dekat, bahkan baru kemarin aku diajak terbang meniti lapis demi lapis mega. Aku yakin, tidak ada orang yang seberuntung aku.
Ternyata ketenanganku terusik.
Tidak sampai sebulan, Kang Dayat membawaku pergi jauh. Berencana betul ia rupanya. Disewanya sebuah mobil Fiat tua, dan didudukkannya aku di bangku depan. Dilemparkannya gembolan-ku yang berisi kebaya-kebaya pemberian Emak ke jok belakang.
Sepanjang jalan, kami saling diam dan mengunci bibir. Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat ini pun aku tidak mampu berfikir dalam alur yang terurai rapi. Semua meloncat-loncat dan terpotong menjadi kepingan-kepingan kecil yang terpisah. Sesekali hanya melintas sosok wanita kurus yang berwajah teduh, lain waktu muncul bayangan permen gulali, kali lain berkelebat bayangan gigi emas itu, lalu pantopel, lalu jambakan, darah, mandi bola dan semuanya seakan menjadi tak beraturan tanpa bingkai. Malah kadang semuanya menjadi lucu dan menggelikan. Seperti wajah Kang Dayat yang terlipat merengut, di mataku dia mirip sekali dengan bola warna-warni di taman bermain dulu.
Jauh sekali perjalanan kami.
Di dalam Fiat, berkali-kali aku menangis tersedu-sedu, berteriak ketakutan, lalu tertawa penuh kebahagiaan. Dengan mudah pula aku tertidur seperti bayi yang kekenyangan habis diteteki.
Tidurku terusik, tatkala Fiat kami memasuki halaman bangunan tua yang besar dan bertingkat-tingkat, bercat putih. Banyak sekali jendela berkisi-kisi di sana , dan di tiap jendela memiliki teralis besi yang juga dicat putih.
Sesekali Kang Dayat melirikku.
Air mukaku tetap sama.
Kosong .
Dituntunnya aku mendekati Ruang Receiption. Pandanganku lebih tertarik pada cicak gemuk yang menempel di bangku ruang tunggu. Berjongkok aku amati dia dengan penuh takjub. Seakan satu-satu buku jarinya mengandung aura keindahan. Indah? Salah! Itu salah! Tidak ada yang indah di sini. Semua gelap. Semua rancu! Semua hampa! Semua bohong! Ya, semua bohong! Termasuk cicak sialan itu. Sekuat tenaga kutinju tubuh gemuknya yang menggeliat ingin kabur. Braaaak! Kraaak.. Remuk sudah riwayat binatang hina itu! Darah dan daging cicak sialan itu terciprat dan belepotan di punggung tanganku. Puas. Rampung sudah tugasku sebagai penumpas kejahatan, menegakkan kebenaran di muka dunia. Kelegaanku kemudian kusempurnakan dengan tertawa lepas dan menari-nari.
“Ha..ha..ha…ela…elo…ela..elo…tang ting tung..hi..hi..hi”
Kang Dayat ternyata tak bisa mengikuti alur kebahagiaanku.
Dia malah menyembunyikan kepalanya dalam-dalam.
Malu.
Dua perempuan berbaju putih kemudian menyeretku ke dalam bangsal-bangsal yang panjang. Aku meronta. Aku ketakutan, dan menangis sejadi-jadinya.
“Tulung…tulung…..tulung !!!”
Sesekali disela rontaku, kepalaku menoleh ke belakang.
Sosok Kang Dayat semakin kecil, dan kecil di pelupuk mataku…
Di sinilah kemudian aku melanjutkan hidup.
Bangunan besar yang kemudian kutahu adalah sebuah Rumah Sakit Jiwa. Tempat berkumpulnya manusia-manusia yang terganggu jiwanya, atau kehilangan akal sehat dan kewarasannya. Menggali akar sebab trauma deritanya. Mengurai tangis dan tawanya tak lagi sebagai bentuk fantasi, tapi mengobati menjadi bentuk reaksi dari fenomena yang nyata.
Bangsal Anggrek , kamar nomor 5.
Semua di diriku telah berubah. Rambutku digunduli, agar aku tidak menyakiti diri sendiri, kata mereka. Padahal itu satu-satunya hartaku yang mengingatkanku akan kepangan Emak. Kebaya dari Emak yang kupakai pun dilucuti, dan diganti dengan piyama biru kedodoran. Di sini pun hampir tak ada yang perduli denganku. Semua sibuk memainkan pikiran dan mengurai fantasi, menjadi tokoh-tokoh ganjil.
Tapi di sini semua orang bicara jujur.
Di sini tidak ada intrik , politik, apalagi saling menyakiti.
Tak ada penghianatan dan caci maki.
Dari balik teralis jendela kamarku ini, kulihat Aster lebih indah dari sekedar Aster. Mereka lebih mirip terompet warna-warni yang bergoyang-goyang ditiup angin sore. Dua tiga tangkainya menjulur panjang , menarik minat kupu-kupu kuning yang hinggap di atasnya.
Di Rumah Sakit Jiwa inilah aku melanjutkan hidup dari sebatas insting binatang, yang hanya mampu merasakan lapar, senang, sedih, marah dan ketakutan, untuk mencapai kewarasan seperti manusia di luar tembok ini. Mengisi waktu dengan mensyukuri hidup, melalui nyanyian dan senam pagi.
Aku betul-betul menjadi manusia baru.
Yang terlahir tanpa nama, tanpa ingatan, apalagi mengenal arti kata dosa , luka , dan siksaan.
Ya, di sinilah rumahku sekarang.
Saat semua telah sempurna di mata kita,
Tidak ada alasan untuk kembali, bukan ?
Sudah sore.
Kututup kisahku ini dengan senyuman dan berbangga hati.
Bertabik kuserukan Wassalam.
***
Nariswari
(Pamulang, Maret 2007)
Kami juga buram arti kata sayang dan peduli
Yang kami tahu dendam dan caci
Fasih berkata lacur merajam hati
Kala bulan semakin jauh,
Kami meniti nirwana tiada pasti…
( Nariswari )
Dari teralis jendela Rumah Sakit Jiwa Bogor, aku terlihat begitu kecil dan lemah. Bunga-bunga Aster dan Camelia berpencar-pencar selang-seling di antara semak liar. Tampak Pak Dung, begitu aku menyebutnya, sedang asyik bergumam dengan bahasanya sendiri. Kabar yang kudengar dari Om Dokter yang sering memberi pil dan kertas gambar padaku, ia berat ditinggal istri. Sibuk marah-marah , disebelahnya berdiri Mama Dona. Aku agak takut jika bertemu dia. Dengan lancung dia selalu marah dan memaki orang-orang yang ditemuinya. Entahlah, aku takut dengan dia…atau aku takut dengan kemarahan itu sendiri.
Namaku Wati. Panggil aku Nok. Emak biasa memanggilku Enok. Panggilan sayang bagi anak perempuan di Cirebon. Perasaan kami sangat dekat, bahkan hingga kini, saat aku dirawat di rumah sakit jiwa ini. Atau terperangkap dan dikurung , lebih tepatnya.
Marilah kita mulai kisah ini.
Aku dan adikku tinggal dengan Emak dan Abah di sebuah desa kecil di Cirebon. Kami hidup sangat sederhana. Abah sering bilang ke kami, di balik kesederhanaan kami, di situ selalu ada harapan dan usaha. Abah selalu membesarkan hati kami. Beliau sering bilang, bahwa suatu hari nanti, kami juga mampu untuk memiliki sepatu pantopel yang amat kami idam-idamkan. Di desa kami, hanya anak Pak Lurah yang mampu membelinya. Dan yang membuat kami semakin sedih, ia membeli dua pasang sekaligus! Ah…biarlah kisah sedih tentang anak Pak Lurah itu berlalu.
Menggantungkan hidup dari pendapatan Abah yang hanya sebagai penggarap ladang milik Haji Sopian, tentu tidaklah cukup. Emak mati-matian memutar otak untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, dengan menjadi buruh cuci di kawasan perumahan yang lokasinya berdekatan dengan desa kami. Pagi-pagi sekali Emak berangkat sambil membawa tembalong cucian.
Air muka Emak capek.
Sering aku memergoki Emak termenung saat sore hari, setibanya aku dari sekolah. Aku masih terlalu kecil untuk merenangi isi benaknya.
Adikku Usin-lah yang sering menghibur. Pandai sekali dia membuat Emak tertawa dan membuat lupa akan sedih dan gaulananya.
Jika ada orang bilang bahwa uang dapat mendatangkan kebahagiaan, mungkin ada benarnya. Dan aku percaya akan hal itu. Abah dan Emak sering bertengkar karena hal sepele. Mulai dari masalah lupa membawa kayu bakar, lauk keasinan, lupa menjerang air untuk minum, sampai ke hal yang paling intim, yang seharusnya kami tak perlu mendengar.
Usin sering menangis tersedu-sedu saat melihat Abah dan Emak kerap bertengkar. Apalagi saat mendengar Abah berteriak dan menggebrak bale-bale tempat biasa mereka tidur, Usin langsung cepat-cepat menubruk aku dan menyusupkan kepalanya dalam-dalam ke ketiakku. Usin tidak tahu, ketakutannya mungkin tidak lebih besar dari ketakutanku…
Hingga suatu pagi, saat embun menjemput matahari, teriakan Usin memecah kesunyian. Seruannya penuh nada kepanikan dan takut. “ Tolong….Emak….tolong…tolong….Emak !!!” Teriak Usin seakan memukul-mukul dinding anyaman bambu tempat tinggal kami. Bergema menusuk kuping.
Berhamburan aku dan Abah menghampiri Usin yang tertelungkup menangis tersedu-sedu di pawon kami. Setiap subuh, Usin memang selalu rajin menunaikan sholat . Ia selalu mengambil wudhu dari tempayan di pawon. Saat masih gelap dia enggan keluar rumah , karena takut oray katanya. Di samping Usin, ada ketel yang mendidih di atas kayu bakar. Emak yang menjerangnya.
“Bah…Emak…Emak…”
Tubuh Emak kaku tergantung di seutas tali di langit-langit pawon.
Pagi itu kami menikmati air matang buatan Emak yang terakhir.
Kami sedih sekali dengan kepergian Emak. Begitupun dengan Abah. Disuruhnya kami memberitahu tetangga-tetangga kami di desa akan kepergian Emak. Tapi Abah wanti –wanti pada kami, “Bilang saja , mati lara…”.
Dengan sisa uang seadanya, Abah menyuguhkan kacang kulit dan teh pahit pada tetangga-tetangga kami yang datang melayat. Pihak masjid di desa kami berbaik hati menyumbangkan kain kafan dan biaya penguburan Emak. Haji Sopian, juragan Abah, menyumbang sepuluh ekor ayam sebagai tanda bela sungkawa.
Aku dan Usin duduk terpekur di pawon, tempat terakhir Emak menitipkan hidup. Atau lebih tepatnya…menggantungkan hidup. Dan menggantung dalam arti yang sebenarnya.
Seperti rekaman film 8 mm, kenangan Emak kembali bermain-main di pelupuk mataku.
Dulu, sewaktu aku berusia lima tahun, Emak sering mengepang rambutku yang panjang. Dari tangannya yang berkerut-kerut dan kurus, aku begitu menikmati tiap gerakan kepangannya. Silang ke kanan, silang ke kiri, dan sesekali diselingi dengan lagu Cirebonan yang dikumandangkan Emak. Lirih, tapi aku sungguh menikmati.
Kawarnaa Njeng Sunan Ngampelgading
Wus lami nggennya dhedhukuh
Sampun tengkar tumangkar
Langkung arja yata wau dhukuh ipun
Agemah dadi Negara
Katah ingkang sobat murid…
(Sunan sudah lama membangun pemukiman, penduduknya berkembang banyak, hidupnya makmur, dan tumbuh menjadi kota yang indah yang banyak dikunjungi pendatang dari jauh...)
Emak juga pernah mengajakku ke komedi putar. Usin masih terlalu kecil saat itu untuk diajak keluar malam hari. Usin ditinggal di rumah bersama Abah. Waktu itu ada komedi putar yang tampil di desa kami. Banyak sekali pedagang jajanan pasar dan mainan di sana. Emak mengajakku bermain mandi bola. Waaah…begitu banyak bola-bola kecil di bak kawat. Seperti kolam bola! Dengan lima ratus perak, Emak memanjakanku bermain sepuasnya di kolam bola. Sementara Emak dengan pandangan berkaca-kaca berjongkok di sudut tiang tenda pedagang buah. Seakan ia begitu menikmati kerianganku. Maklumlah, aku hampir tidak pernah dibelikan mainan oleh Abah dan Emak. Sering aku dan Usin merengek minta mainan. Dengan tenangnya Abah bilang, mainan yang paling bagus adalah alam. Jawabannya kerap bikin aku dan Usin kebal dan sebal.
Pulang dari komedi putar, Emak membelikanku permen gulali. Emak menyebutnya, permen orang kota. Sayang, sepulang dari komedi putar malam itu, hujan deras. Emak memeluk aku erat dan melindungi kepalaku dari hujaman air hujan.
Di pelukan Emak aku hangat.
Banyak kisah manisku bersama Emak, yang mustahil terhapus dari ingatanku. Sewaktu pertama kali aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Emak pernah memujiku,
“ Nok…kowe cakep. Aja nelangsa kayak Mak-mu ya.”
Mata Emak berkaca-kaca menatapku lekat.
Emak juga cantik, pikirku.
Kenanganku tentang Emak semakin kuat, saat beliau tiada. Tiap benda di rumah kami mengingatkanku akan Emak. Terutama tembolong cucian itu. Dari situlah kami bisa makan dan bersekolah. Dan setidaknya, masih memiliki harapan untuk memiliki sepatu pantopel seperti milik anak Pak Lurah.
Usiaku sudah menginjak tiga belas tahun, saat mendapat menstruasi pertama. Aku panik dan menangis ketakutan, saat sepulang dari sekolah, mendapati celana dalamku berwarna merah. Malu bercerita pada Usin dan Abah, aku lekas bertanya pada Hajah Odah, guru mengaji di desa kami. Ia-lah yang mengenalkan pembalut padaku untuk pertama kalinya.
Di tahun yang sama, Abah berkata padaku suatu malam, “Nok, macak sing rapih. Ana perjaka teka arep lamaran…”
Percaya atau tidak, aku kemudian menikah dengan seorang pria yang jauh lebih tua dari usia Abah, yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Dari matanya, Abah sangat berharap aku mau menerima pernikahan ini. Aku kasihan dengan Abah. Aku berpikir, dengan aku menerima pinangan ini, sudah berkurang beban Abah untuk mencukupi satu mulut.
Dan taruban-pun digelar. Pinangan dan bunga-bunga dironce. Janur dipasang gagah di ujung desa. Abah sibuk bersalam-salaman dengan kerabat besan. Usin duduk sendirian , bingung menatap hiruk pikuk orang. Calon suamiku, Kang Dayat, memakai jas hitam dan kopiah. Semua tamu memujinya ganteng. Kecuali aku. Entahlah, mungkin karena semua ini tidak diawali oleh cinta.
“ Saya terima nikahnya Wati binti Thoyib dengan mas kawin seperangkat alat sholat…”
Kami menikah.
Di usia yang sebelia itu, aku masih ingin tahu banyak dunia luar. Tentang keindahan kota, sekolah sampai tingkat tinggi, dan lain-lain , agar hidupku tidak lagi nelangsa seperti pesan Emak.
Apa lacur, hidupku tak jauh dari mengangkang di ranjang, meneteki suami (berhubung kami belum dikaruniai anak) , dan berbenah di rumah Kang Dayat.
Semenjak tinggal serumah dengan Kang Dayat, aku jarang bersilaturahmi dengan Abah dan Usin di desa. Selain aku buta akan rute jalan, aku juga menghormati Kang Dayat. Aku tidak mau mencuri-curi waktu untuk keluar saat dia tak ada di rumah.
Secara garis besar, Kang Dayat baik. Dia mencukupi semua kebutuhanku. Mulai dari rumah yang kami tempati, makan minum, sampai ke perhiasan. Kang Dayat sering membawa uang gepokan ke rumah. Aku kaget bukan kepalang. Dengan tangan bergetar, aku memegang gepokan uang itu. Baru kali itu dalam hidupku, aku melihat dan memegang uang sebanyak itu !
Banyak sifat dari Kang Dayat yang aku teladani. Dia penyabar, dan bicaranya seperti orang kota yang halus dan santun. Berbeda dengan aku yang terkesan urakan dan kasar. Bahkan aku biasa berteriak-teriak saat memanggil Abah di ladang untuk makan. Atau mengingatkan Usin untuk mencari kayu bakar.
Kang Dayat kadang membawakanku sisir tanduk kerbau dan pupur mangir. Dia bilang aku cantik, dan akan semakin cantik jika dandan. Ah…tiba-tiba aku jadi ingat Emak. Dulu rambut ini Emak yang menyisir. Kini, aku terpaksa menata rambutku sendiri dan memberi pupur di pipiku yang ranum. Hanya satu yang belum aku bisa, mengepang rambut. Rindu rasanya dikepang Emak di bale-bale rumah.
Sebelum kami menikah, Abah memperkenalkan Kang Dayat padaku sebagai pedagang di kota. Di kota mana, berdagang apa, aku pun tidak tahu. Karena pada saat itu yang kurasakan hanya perasaan takut, marah, dan sedih tak terperi. Abah tega. Tapi aku juga tega jika membangkang titah Abah. Toh aku yakin, ada maksud baik dibalik nikah paksa ini.
Tiap hari, Kang Dayat berangkat menjelang sore, dan pulang kembali sampai di rumah menjelang ayam jantan keluar dari peraduan. Selalu, sesampainya di rumah, Kang Dayat langsung menuju tempat tidur, dan mengurai mimpi. Baru agak siang setelah Kang Dayat bangun, kami bertukar cerita. Dari Kang Dayat-lah aku membayangkan betapa indahnya kota. Ada mobil , motor, bangunan tinggi, sampai makanan kota yang asing aku dengar, seperti soes, bolu, bika, atau apalah. Membayangkannya pun aku letih, mungkin karena aku terlalu banyak bermimpi.
Sering Kang Dayat memintaku untuk pindah ke kota. Bermaksud baik meninggalkan desa tempat aku lahir dan dibesarkan, untuk meraih impian dan harapan. Aku masih tidak yakin. Aku berat meninggalkan Abah dan Usin. Walau kami sudah amat jarang bertemu, tapi setidaknya aku masih tinggal di desa yang sama, meminum air dari kali yang sama, dan berselimut langit yang sama.
Kang Dayat kalah.
Kami tidak jadi hijrah ke kota.
Bahkan yang sangat menggembirakanku, akhir-akhir ini Kang Dayat sering di rumah menemani aku, dan tidak lagi pulang pagi. Saat aku tanya, “ Apa Akang tidak kerja ? “ Dia hanya tersenyum manis dan membelai rambutku.
Seperti membuka pintu neraka lebar-lebar, begitu mudahnya aku membiarkan kisah sedih menjadi petaka di kemudian hari…
Suatu pagi, datang dua orang lelaki, ke rumah kami. Lelaki satu berperawakan pendek gemuk dan berkulit hitam, sepertinya seumuran dengan Kang Dayat. Lalu yang satunya berperawakan sedang, memakai dua gigi emas ( dan itulah yang mungkin menyebabkan ia sering menyeringai agak mengerikan..) dan rambutnya tertata rapi memakai pomade. Kang Dayat menyambut mereka dengan baik, kelewat ramah malah.
Dikenalkannya aku pada mereka. Si gemuk pendek itu ternyata bernama Sarmo, dan si gigi emas bernama Wanto.
Lalu Kang Dayat memintaku membuat kopi dan makanan kecil di dapur. Sayup-sayup aku mendengar mereka berbisik-bisik lalu tertawa terbahak-bahak. Ah, senang rasanya saat pasangan kita berbahagia seperti itu.
Saat aku menyuguhkan kopi dan jadah goreng di meja tamu, Kang Dayat memintaku segera masuk ke kamar . “ Dandan sing cakep ya Ti…”
Tiba-tiba aku merinding mendengar ucapannya. Aku jadi ingat Abah, saat memintaku dandan saat nikah paksa.
“ Ngapa Kang? “
“Wis lah, aja akeh tanya. Dandan sing cakep. Titik !”
Dari balik gordyn kamar, aku sempat melihat kedua lelaki itu memberikan sejumlah uang pada Kang Dayat. Mereka berjabat tangan, dan Kang Dayat pun minta diri dari rumahnya sendiri.
Ditinggalnya aku sendirian di kamar dengan cepukan-cepukan bedak dan sisir tanduk kerbau. Pikiranku berkecamuk tidak tenang. Rasa panikku terjawab saat kedua lelaki itu menyeruak masuk ke dalam kamar tidurku. Senyuman mereka membuat semua pembuluh-pembuluh darahku mengencang, dan jantungku berdegub cepat, mengikuti ritme ketegangan yang tak beraturan. Si pendek gemuk mulai melucuti pakaiannya satu persatu, lalu disusul dengan lelaki satunya. Aku terlonjak dari kursi, dan menghalau mereka masuk ke dalam. Tanganku yang kurus dan kecil ternyata tak mampu melawan desakan mereka. Dengan mudahnya mereka menghempaskan aku ke atas ranjang. Aku terus meronta, dan menendangi tubuh telanjang mereka. Keringatku deras mengucur, seiring dengan ketakutanku yang kian memuncak. “Akang….tulung Wati Kang….Kang…tulung !” Teriakanku tak lebih dianggap mereka rengekan anak kecil yang meminta mainan. Bukannya iba , mereka malah semakin bersemangat untuk menindihku. Sekonyong-konyong, aku berteriak sekuat tenaga , “Akaaaaaaang!!!!!!!!!!!!....” Teriakanku terhenti saat Sarmo menghajar wajahku dengan kepalan tangannya yang besar. Bukan hanya kekejian yang bicara di situ, tapi juga birahi. Sejurus kemudian aku sudah tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi semenit, sejam, atau setengah hari kemudian. Bergumul dengan arti kata nafsu bak binatang, mereka menyeretku ke dalam liang derita dan aib berkepanjangan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “Gojegan Manten” dari radio tetangga sebelah…
Sorenya Kang Dayat pulang. Dia membawa baju-baju baru untukku. Dijinjingnya tiga potong baju baru itu dalam kantong semen. Ada yang motif bunga-bunga seperti punya gadis kota, ada yang memakai renda merah, dan baju tanpa lengan. Aku tak bisa membayangkan , apa kata Hajah Odah saat aku memakai baju seperti itu saat datang ke surau.
Bukannya senang karena suami datang, aku malah menangis dan menghambur ke kamar mandi. Jongkok bertelanjang aku di kamar mandi, segayung demi segayung air dingin kusiramkan ke tubuh kotorku itu. Berkali-kali kugosok-gosokkan seluruh tubuhku dengan penuh amarah dan kebencian. Tubuhku sudah dilumuri najis. Di luar, Kang Dayat mengetuk pintu kamar mandi perlahan.
“Ti…buka Ti. Ana kelambi anyar Ti..Cakep. Buka Ti…”
Air mataku menitik satu-satu.
Teringat Emak, Abah, dan Usin. Tiba-tiba aku terdorong ingin kembali ke desa. Ke rumah Abah.
Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk segera beranjak dari kamar mandi, lalu menerobos keluar menuju kamar tidur. Bersiap untuk kemas-kemas dan pergi dari rumah laknat itu.
Sudah tak ada lagi Kang Dayat yang aku hormati.
Jauh kulempar keinginan untuk berlama-lama di rumah itu.
Hilang semua bayangan manis yang kurajut dengan susah payah bersama Kang Dayat. Aku sudah cukup berbangga hati saat suamiku itu memboyongku ke sebuah rumah yang nyaman, membelikan pupur dan sisir tanduk kerbau, dan menikahiku dengan meriahnya taruban yang tentu saja membuat bangga setiap anak gadis desa yang lugu seperti aku.
Tapi semua lenyap tak bersisa. Kang Dayat tak lebih dari pria nista yang keji menjual istrinya.Bagai topan yang menerpa atap-atap rumbia di pesisir, semua hilang tak berbekas. Hanya menyisakan duka pilu yang menggoreskan sejarah bahwa di sana pernah terjadi sesuatu yang mengerikan.
Kemuakan menyeruak, saat aku memasuki lagi kamar jahanam itu. Kelambu yang koyak, kain batik seprei yang kusut masai, kursi yang terguling, bantal dan guling seakan menusukku hingga ke pelung sum-sum.
Perih, Emak. Perih.
Aku masukkan empat potong kebayaku yang pernah Emak beri. Hanya itu yang kubawa. Air mata, perih, aib dan darah pun serta.Tak perlu emas, pupur cepukan, sisir tanduk kerbau , dan baju-baju pemberian Kang Dayat. Kulipat asal kebaya-kebaya itu ke dalam kain batik, lalu kusimpul menjadi gembolan. Langkahku bulat untuk pergi, saat Kang Dayat menghadangku di pintu kamar.
“Aja lunga Ti…”
“Akang kejam! Akang tega menjual Wati! Wati benci! Benci! Akang jahat !”
Aku luapkan makian dan sempalan rasa marah yang meradang. Melihat sorot mata Kang Dayat, aku telah kehilangan kata-kata. Semua unsur kebaikan dan kebajikan telah sirna , berganti dengan kenistaan dan keji.
Kudesak tubuh kekarnya agar tidak menghalangi jalanku keluar kamar. Tangan Kang Dayat ternyata lebih sigap dari kata-katanya. Di seretnya tanganku , lalu dihempaskan badanku yang ringkih ke atas ranjang laknat.
“Minggir Akang! Wati mau minggat! Wati ora sudi!”
Kutepis tangan Kang Dayat, lalu berusaha lari menghambur keluar. Langkahku terhenti, saat Kang Dayat menjambak dan mengoyak rambutku , dari belakang, lalu menghentakkanku keras ke lantai.
“Coba minggat kalau berani !”
Setelah kurunut alur kejadian-kejadian sebelumnya, mengapa Kang Dayat sering pulang pagi, bawa uang banyak, dan terakhir tega memperlakukan istrinya serendah ini, barulah aku tersadar Kang Dayat tak lebih seorang germo di kota.
Aku tersuruk ke tanah, seperti binatang keok yang kehabisan nyali. Dadaku perih. Sesak, ingin meledak.
Air mataku menetes satu-satu.
Tiba-tiba aku teringat Emak.
Kini ku tak yakin mampu membedakan rasa gulali pemberian Emak antara manis atau getir…
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu “ Randa” dari radio tetangga sebelah…
Maka dimulailah prahara dan neraka itu.
Semenjak Kang Dayat bersikap kasar dan keji padaku, aku mati rasa. Warna langitku abu-abu. Pupus sudah harapan dan impianku. Teringat aku akan sepatu pantopel, mandi bola, baju bagus, sepeda , dan banyak lagi.
Tulang dan sendiku seakan terlepas dari rangkanya. Mata dan bathinku seakan melaju pada cabangnya sendiri-sendiri. Aku kehilangan huruf dan angka. Aku kehilangan makna cinta dan pelangi. Aku serasa ada dalam jasad yang telah lama mati.
Kejadian keji itu ternyata berulang lagi. Dengan orang-orang aneh yang asing di mataku. Dan aku sudah tidak perduli lagi akan diriku sendiri. Betul-betul aku sudah mati. Hanya jasadku yang enggan melepas tali nafas , hingga orang bilang aku masih hidup. Kali ini Kang Dayat lebih terang-terangan padaku. Dua kali, tiga kali, tujuh kali, entah berapa kali …aku bias untuk membilang. Hingga aku ragu, Kang Dayat atau aku yang telah kehilangan kewarasan?
Sampai pada kesimpulan bahwa cinta itu tidak ada.
Koreklah ke diriku yang paling dalam, hanya akan kau temukan luka penuh darah dan nanah.
Dan aku mulai ragu…apa Tuhan itu ada ?
Sementara itu, di tempat lain, di hari yang sama, jam yang sama, detik yang sama.
Nun jauh di rumah sederhana tempat aku, Usin, Emak dan Abah tinggal, sedang dilangsungkan pengajian. Berkerumun di tengah-tengah ruangan berlantai tanah, Wak Acim, Ketua RT, Haji Sopian, Hajah Odah, dan tetangga-tetangga kami. Mereka melantunkan Yassin seakan-akan menusuk rasa ingin tahu. Di sudut ruangan, duduk meringkuk, Usin seorang diri. Seakan ia kedinginan dan disergap rasa kesepian. Dulu, ketiakku-lah yang menjadi tempat paling nyaman baginya untuk menitipkan rasa takut dan sedih. Kini ia terlihat tak lebih seperti benang basah.
Di tengah-tengah ruangan, terbujur kaku, Abah yang sudah dimandikan dan dikafan. Raut wajah Abah yang keriput dan gelap, seperti tertidur tenang dan menikmati Yassin yang dilantunkan untuknya.
Abah meninggal jam sepuluh pagi tadi.
Di sisa usia Abah, beliau terlihat rapuh dan letih. Sesekali saat aku mencucikan pakaian-pakaian kotor Abah, Usin dan Emak, aku menemukan bercak-bercak merah kecoklatan di baju kumal Abah. Apakah karena bercak itu yang kemudian menggiring Abah meniti rasa sakitnya seorang diri?
Kini aku dan Usin bagai rumah tanpa atap.
Berdiri tanpa kekuatan dan kebanggaan.
Selepas penguburan Abah, Usin banyak termenung di rumahnya yang kini sepi.
Tak ada suara Emak.
Tak ada suara Abah.
Tak ada suara Nok.
Kerabat dari pihak Abah, Wak Tajab, kemudian dengan ikhlas mengajak Usin untuk ikut tinggal di rumah mereka di Tangerang. Sementara rumah kami beserta isinya, dijual untuk kemudian dananya dijadikan biaya sekolah Usin.
Tak ada pilihan lain . Hanya getir.
Di rumah inilah kami sering tertawa dan menangis.
Merenda cerita dari lapar dan keringat.
Di sini pulalah kami menemukan cinta, walau akhirnya kandas tak bersisa.
Di sudut-sudut ruangan, kami sisipkan doa dan kenangan.
Agar Abah dan Emak tetap mencintai kami.
Memberi arti lebih dari pelukan dan rambut kepangan,
Mengajari kami betul-betul apa makna dari sesuap nasi
Memberi kami hangat di pagi hingga malam hari.
Dua hari kemudian, rumah itu telah benar-benar kosong dan berpindah tangan. Aku tidak tahu siapa pemilik barunya. Usin untuk waktu yang lama ,tinggal di rumah Wak Tajab yang berkumpul dengan istri dan empat orang anak.
Taruhlah , taraf hidup Usin sedikit lebih terjamin. Setidaknya sampai ia mampu menghidupi dirinya sendiri.
Tinggallah aku merenangi air mata tiada berkesudahan. Terperangkap dalam roda waktu yang terus berputar, memaksa diriku untuk membenci dan semakin membenci jasadku yang kotor dan berlumur sesalan.
Hari demi hari , aku semakin lupa siapa aku. Di mana aku. Atau untuk siapa aku hidup. Tatapan mataku kosong, tanpa ada hidup yang melingkupi rongganya. Di saat semua orang sibuk mengenyangkan perut, aku sudah lupa apa arti lapar dan kecewa. Bahkan sedih dan perih, seperti lebur menjadi sosok baru yang tidak menjadikanku takut lagi.
Kebaya tunik-tunik yang kupakai ini tak lepas dari tubuhku sejak seminggu yang lalu. Rambutku kusut dan mulai berketombe di sana- sini. Tubuhku kotor dan kumal. Ah, apalah artinya kotor. Toh sudah tak ada bedanya sekarang.
Awalnya Kang Dayat, memaksaku untuk membenahi diri. Mendorong-dorongku memakai baju yang menurutnya lebih layak, menyeretku ke kamar mandi dan mengguyuri tubuhku dengan air dingin, menyisiri rambutku dengan perasaan jengkel, hingga sering berhelai-helai rambutku tercerabut hingga akarnya.
Aku hanya bisa menangis.
Tapi aku tidak tahu, menangis untuk apa dan siapa.
Tetangga kami mulai sering membicarakanku. Dari tatapan mata mereka, aku menangkap rasa iba bercampur jijik. Mereka melihat ada sosok mengerikan yang berwujud seperti wabah menular. Lekas mereka menarik anak-anak mereka masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat, saat aku berjalan sore , sekedar menyapa awan dan hembusan angin . Maklumlah, aku, awan, dan angin bersaudara dekat, bahkan baru kemarin aku diajak terbang meniti lapis demi lapis mega. Aku yakin, tidak ada orang yang seberuntung aku.
Ternyata ketenanganku terusik.
Tidak sampai sebulan, Kang Dayat membawaku pergi jauh. Berencana betul ia rupanya. Disewanya sebuah mobil Fiat tua, dan didudukkannya aku di bangku depan. Dilemparkannya gembolan-ku yang berisi kebaya-kebaya pemberian Emak ke jok belakang.
Sepanjang jalan, kami saling diam dan mengunci bibir. Aku tidak tahu harus berkata apa. Saat ini pun aku tidak mampu berfikir dalam alur yang terurai rapi. Semua meloncat-loncat dan terpotong menjadi kepingan-kepingan kecil yang terpisah. Sesekali hanya melintas sosok wanita kurus yang berwajah teduh, lain waktu muncul bayangan permen gulali, kali lain berkelebat bayangan gigi emas itu, lalu pantopel, lalu jambakan, darah, mandi bola dan semuanya seakan menjadi tak beraturan tanpa bingkai. Malah kadang semuanya menjadi lucu dan menggelikan. Seperti wajah Kang Dayat yang terlipat merengut, di mataku dia mirip sekali dengan bola warna-warni di taman bermain dulu.
Jauh sekali perjalanan kami.
Di dalam Fiat, berkali-kali aku menangis tersedu-sedu, berteriak ketakutan, lalu tertawa penuh kebahagiaan. Dengan mudah pula aku tertidur seperti bayi yang kekenyangan habis diteteki.
Tidurku terusik, tatkala Fiat kami memasuki halaman bangunan tua yang besar dan bertingkat-tingkat, bercat putih. Banyak sekali jendela berkisi-kisi di sana , dan di tiap jendela memiliki teralis besi yang juga dicat putih.
Sesekali Kang Dayat melirikku.
Air mukaku tetap sama.
Kosong .
Dituntunnya aku mendekati Ruang Receiption. Pandanganku lebih tertarik pada cicak gemuk yang menempel di bangku ruang tunggu. Berjongkok aku amati dia dengan penuh takjub. Seakan satu-satu buku jarinya mengandung aura keindahan. Indah? Salah! Itu salah! Tidak ada yang indah di sini. Semua gelap. Semua rancu! Semua hampa! Semua bohong! Ya, semua bohong! Termasuk cicak sialan itu. Sekuat tenaga kutinju tubuh gemuknya yang menggeliat ingin kabur. Braaaak! Kraaak.. Remuk sudah riwayat binatang hina itu! Darah dan daging cicak sialan itu terciprat dan belepotan di punggung tanganku. Puas. Rampung sudah tugasku sebagai penumpas kejahatan, menegakkan kebenaran di muka dunia. Kelegaanku kemudian kusempurnakan dengan tertawa lepas dan menari-nari.
“Ha..ha..ha…ela…elo…ela..elo…tang ting tung..hi..hi..hi”
Kang Dayat ternyata tak bisa mengikuti alur kebahagiaanku.
Dia malah menyembunyikan kepalanya dalam-dalam.
Malu.
Dua perempuan berbaju putih kemudian menyeretku ke dalam bangsal-bangsal yang panjang. Aku meronta. Aku ketakutan, dan menangis sejadi-jadinya.
“Tulung…tulung…..tulung !!!”
Sesekali disela rontaku, kepalaku menoleh ke belakang.
Sosok Kang Dayat semakin kecil, dan kecil di pelupuk mataku…
Di sinilah kemudian aku melanjutkan hidup.
Bangunan besar yang kemudian kutahu adalah sebuah Rumah Sakit Jiwa. Tempat berkumpulnya manusia-manusia yang terganggu jiwanya, atau kehilangan akal sehat dan kewarasannya. Menggali akar sebab trauma deritanya. Mengurai tangis dan tawanya tak lagi sebagai bentuk fantasi, tapi mengobati menjadi bentuk reaksi dari fenomena yang nyata.
Bangsal Anggrek , kamar nomor 5.
Semua di diriku telah berubah. Rambutku digunduli, agar aku tidak menyakiti diri sendiri, kata mereka. Padahal itu satu-satunya hartaku yang mengingatkanku akan kepangan Emak. Kebaya dari Emak yang kupakai pun dilucuti, dan diganti dengan piyama biru kedodoran. Di sini pun hampir tak ada yang perduli denganku. Semua sibuk memainkan pikiran dan mengurai fantasi, menjadi tokoh-tokoh ganjil.
Tapi di sini semua orang bicara jujur.
Di sini tidak ada intrik , politik, apalagi saling menyakiti.
Tak ada penghianatan dan caci maki.
Dari balik teralis jendela kamarku ini, kulihat Aster lebih indah dari sekedar Aster. Mereka lebih mirip terompet warna-warni yang bergoyang-goyang ditiup angin sore. Dua tiga tangkainya menjulur panjang , menarik minat kupu-kupu kuning yang hinggap di atasnya.
Di Rumah Sakit Jiwa inilah aku melanjutkan hidup dari sebatas insting binatang, yang hanya mampu merasakan lapar, senang, sedih, marah dan ketakutan, untuk mencapai kewarasan seperti manusia di luar tembok ini. Mengisi waktu dengan mensyukuri hidup, melalui nyanyian dan senam pagi.
Aku betul-betul menjadi manusia baru.
Yang terlahir tanpa nama, tanpa ingatan, apalagi mengenal arti kata dosa , luka , dan siksaan.
Ya, di sinilah rumahku sekarang.
Saat semua telah sempurna di mata kita,
Tidak ada alasan untuk kembali, bukan ?
Sudah sore.
Kututup kisahku ini dengan senyuman dan berbangga hati.
Bertabik kuserukan Wassalam.
***
Nariswari
(Pamulang, Maret 2007)
Selasa, 19 Juli 2011
Anak Kecil 6 Tahun Memungut Barang Bekas Demi Merawat Papanya Yang Lumpuh
Anak Kecil 6 Tahun Memungut Barang Bekas Demi Merawat Papanya Yang Lumpuh Tse Tse kecil sedang menyuapi papanya yang lumpuh.
(Dajiyuan, 17 Des) Karena ayahnya lumpuh bertahun-tahun, anak yang baru berumur 6 tahun ini terpaksa memikul tanggung jawab rumah tangga.
Selain setiap hari mencuci muka ayahnya, memijat dan memberi makan, dia masih bersama ibunya mengambil botol air mineral bekas sebagai tambahan pendapatan keluarga. Cerita Tse Tse ini banyak menyentuh hati teman di internet, hanya beberapa jam, sudah puluhan ribu orang yang mengkliknya. Adegan yang mengharukanBegitu sampai di rumah, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember air, lantas dengan tangannya yang mungil ia memeras selembar handuk yang besar, karena handuk terlalu besar buat dia, Tse Tse membutuhkan 3 sampai 4 menit baru bisa mengeringkannya, kemudian dengan handuk itu dia menyeka wajah ayahnya dengan lap itu. Dia sangat teliti melapnya, sepertinya khawatir kurang bersih. Setelah selesai, Tse Tse kemudian berjingkat melap punggung ayahnya, di belakang, selesai semua, dengan puas dia tersenyum ke ayahnya. Tse Tse tahun ini berumur 6 tahun, baru kelas 1 SD, tinggal di jalan Baoan, desa Nantong, papanya Xiong Chun pada 5 tahun lalu tiba-tiba menderita otot menyusut, di bawah leher semua lumpuh, untuk mengobati penyakitnya dia telah menghabiskan semua tabungannya. Sekarang, keluarga yang beranggotakan 3 orang ini hanya mengandalkan ibunya yang bekerja di pabrik, dengan penghasilan kecil itulah mereka bertahan hidup. Di sekolah Houde, anak yang seumur dengannya dengan ceria bergandeng tangan dengan orang tuanya sambil berjalan, namun Tse Tse malah harus sekuat tenaga mendorong ayahnya pulang. Ketika mau menyeberang jalan, dia akan berhenti sejenak, menoleh kendaraan yang lalu lalang, setelah aman dia baru menyeberang. Setiap ketemu tempat yang tidak rata, Tse Tse harus mengeluarkan tenaga ekstra menaikkan roda depan, menarik kursi roda itu dari belakang, wajahnya yang mungil sampai terlihat kemerahan. Dari sekolah sampai rumah jaraknya sekitar 1.500 meter, harus ditempuh selama 20 menit. Satu keluarga 3 orang menempati rumah 8 m2Rumah Tse Tse adalah sebuah rumah dengan kamar kecil seukuran 8m2, hanya besi seng menutupi atap yang menghalangi cahaya masuk ke kamar, di atap tergantung sebuah lampu energi kecil. Dalam rumah penuh debu, yang paling mencolok adalah penghargaan Tse Tse yang tergantung di dinding. Terhadap sekeluarga yang pendapatan bulanannya hanya sekitar 1.000 RMB (Rp. 1,5 juta) bisa dikatakan, sebuah TV 21" sudah merupakan barang mewah. Sebuah ranjang atas dan bawah sudah memenuhi seluruh kamar, di atasnya penuh dengan barang pecah belah, hanya tersisa sedikit ruang kecil. Xiong Chun berkata, itu adalah ranjang Tse Tse. Sebuah meja lipat tergantung di dinding, itu adalah meja belajar Tse Tse, juga adalah meja makan keluarga. Di samping pintu yang luasnya tidak sampai 1 m2, ada "dapur" yang dibuatnya sendiri, di samping kompor masih tersisa sebatang kubis. "Makanan dan minyak di rumah semua diberikan oleh teman mamanya, satu hari tiga kali makan, Cuma makan malam yang agak lumayan, di rumah jarang makan daging, namun setiap minggu mereka akan mengeluarkan sedikit biaya untuk mengubah kehidupan anaknya, namun setiap kali makan, Tse Tse akan membiarkan saya makan dulu, baru dia makan." Kata Xiong Chun. Tangan mungil Tse Tse sedang memijat kaki papanya.Setiap hari memijat papanya 3 kali Mama Tse Tse bekerja di pabrik, setiap siang hari dia akan menyisakan sedikit waktu pulang ke rumah menanak nasi untuk suaminya, setelah menyuapi dia segera balik ke pabrik bekerja, tanggung jawab merawat suaminya semua di bebankan ke pundak Tse Tse. Xiong Chun memberitahu wartawan, setiap pagi jam 6.30 begitu jam alarm berbunyi, Tse Tse akan bangun, cuci muka dan sikat gigi, dia juga membantu papanya mencuci muka, selesai itu dia akan memijat tangan dan kaki papanya, kira-kira 10 menit. Pulang sekolah sore, dia akan memijat papanya lagi, malam setelah memandikan papanya, dia akan memijat papanya lagi, baru tidur. "Agar bisa lebih banyak membantu mamanya, Tse Tse kadang-kadang ikut mamanya memungut barang bekas untuk menambah penghasilan keluarga. "Xiong Chun sangat sayang anaknya. Tetangga di sekeliling sangat terharu dan mengatakan: "Tse Tse sangat mengerti. Kita semua merasa bangga ada anak seperti ini." Boneka 5 Yuan yang paling disukainyaMama membawa dia memungut botol air bekas untuk menambah penghasilan. Suatu ketika, Tse Tse memungut satu mainan mobil plastik bekas di tempat sampah, dia bagaikan mendapat barang pusaka, setiap hari akan main sebentar dengan mobil plastiknya itu. Yang Xianfui berkata, kemarin mama dan anak pergi memungut besi bekas, bisa dijual 20 Yuan. Tse Tse punya satu boneka kecil yang lucu, itu yang paling disayanginya. Malam hari juga mengendongnya tidur. "Dia melihat boneka itu di toko, beberapa kali dia memintanya, 5 Yuan, saya tidak tega terus, akhirnya saya nekat membelikannya," Kata Xiong Chun. Tse Tse dengan tekun merawat papanya. Begitu Tidak Boleh Sekolah, Langsung Menangis Untuk mengirit biaya listrik,setiap hari begitu pulang sekolah Tse Tse akan memindahkan "Meja kecilnya" keluar, mengejar siang hari menyelesaikan PR-nya. "Uang sekolahnya setahun sekitar 3.000 sampai 4.000, kami tidak sanggup. Karena tidak ada uang, tahun ini saya juga melepaskan berobat lagi," kata Xiong Chun. Beberapa waktu yang lalu, dia berbicara dengan istrinya agar Tse Tse berhenti sekolah saja, Tse Tse begitu tahu langsung menangis. Xiong Chun berteriak, "Hidup normal saja bermasalah, masih harus kasih dia sekolah, sungguh susah, bila sudah tidak mungkin, biar dia berhenti saja." Tse Tse yang sedang bermain boneka, begitu mendengar kata papanya, langsung menangis. Xiong Chun menarik Tse Tse ke sisinya, membujuk: "Papa akan usahakan kamu sekolah, biar kamu bisa sekolah!" Setelah dibujuk beberapa kali, Tse Tse baru berhenti menangis, dengan tangan mungilnya dia menyeka air matanya. "Terhadap Tse Tse, saya sungguh menyesal....," sambil menangis tersedu, Xiong Chun sudah tidak dapat berkata lagi. Xiong Chun berkata: "Saya percaya pasti akan sembuh, Tse Tse adalah harapan saya."
Kamis, 14 Juli 2011
Ramalan Watak menurut Bulan Lahir
Ramalan Bulan Lahir
Menurut salah satu ilmu warisan nenek moyang Ramalan Watak seseorang bisa diketahui (salah satunya) berdasarkan bulan lahir orang tersebut, berikut ini ramalan watak seseorang berdasarkan bulan lahirnya mulai bulan Januari sampai bulan Desember.
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Januari:
Tenang dan berwibawa
Suka berterus terang dan tidak suka basa basi
Pandai menyimpan rahasia dan bisa dipercaya
Disukai banyak orang karena selalu kelihatan ceria
Mandiri dan tidak suka meminta bantuan pada orang lain
Pandai mengatur keuangan
Agak pendiam dan lebih senang memperhatikan dirinya sendiri
Teliti dan tidak sembarangan
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Februari:
Mempunyai hati yang tulus
Perasaannya peka dan mudah tersinggung
Senang dipuji dan hormat pada siapa saja
Keras hati dan mempunyai pendirian tetap
Agak pemalas dan suka mengingkari janji
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Maret:
Baik hati dan suka menolong sesama
Suka kehidupan yang serba wah
Seleranya tinggi
Tidak tegaan dan selalu memberi pada orang yang kesusahan
Agak pemalu, namun jujur dan tidak pernah bohong
Mudah terpengaruh dan tidak kuat menghadapi godaan
Suka melalaikan kesehatan dirinya sendiri
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan April:
Tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri
Pemborosan
Senang dipuji
Agak boros walaupun pandai mencari uang
Mempunyai otak yang cerdas namun tidak suka diperintah
Tidak pernah memilih dalam berteman
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Mei:
Pandai menguasai perasaan
Andai mengambil hati orang lain
Punya selera tinggi dan senang kehidupan yang serba wah
Senang menunda pekerjaan
Agak boros walau rejekinya bagus
Tidak suka basa-basi dan tidak senang dipuji
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Juni:
Romantis dan suka menolong
Tidak mempunyai pendirian tetap
Suka berpikir yang muluk-muluk
Mudah tersinggung bila perasaan tersentuh
Agak pemalas dan baru mau bekerja bila diiming-iming hasil besar
Selalu ceria walau hatinya sedang kesal
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Juli:
Senang berkhayal
Kalau sudah marah, kata-katanya tajam
Tidak mempunyai pendirian tetap
Senang dipuji
Suka menolong pada sesama
Pandai bicara dan berotak cerdas
Agak pemalas
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Agustus:
Mempunyai perasaan yang peka/halus
Cepat tersinggung
Suka menghayal dan berpikiran yang muluk-muluk
Tidak mudah terpengaruh
Agak pemalas
Kalau bekerja lebih menuruti kehendak hatinya sendiri
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan September:
Mudah tersinggung dan cepat naik darah
Baik hati dan jujur
Bisa menyimpan rahasia
Suka berfoya-foya
Pandai menyimpan uang namun tidak pelit
Suka menolong sesama dan pandai mendidik anak
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Oktober:
Berjiwa besar dan mau mengalah
Pandai bicara
Cerdas dan baik hati
Memiliki tekad yang kuat
Tidak sabaran dan agak boros
Pikirannya tidak tetap dan selalu berubah-ubah
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan November:
Tabah dan kuat dalam menghadapi segala cobaan
Pandai mengerjakan setiap pekerjaan
Pandai mengambil hati orang lain
Agak pemalas dan suka menunda pekerjaan
Banyak berpikir
Agak pendendam dan tidak mudah memberi maaf pada orang yang bersalah
Keras hati
Ramalan Watak Orang Yang Lahir Bulan Desember:
Mudah menaruh rasa percaya pada orang lain
Kalau mengerjakan sesuatu suka tergesa-gesa
Tidak sabaran
Tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri
Mudah terpengaruh
Jujur dan baik hati
Pemborosan dan suka memaksakan kehendak
semua ramalan ini berlaku untuk semua org di dunia. adapun bentuk ramalan adalah perkiraan atas survey rata-rata. tidak semua ramalan menggambarkan hal yang sebenarnya. namun salah satu sifat itu ada dalam jiwa orang yang lahir sesuai dengan bulan yang di maksud.
Senin, 11 Juli 2011
WISATA JAMBU BIJI MERAH BANYUMAS
Warta polisi banyumas
Jambu adalah sejenis tumbuhan multi guna dan buah buahan yang cukup terkenal serta dapat mengobati berbagai penyakit. Jambu sangat popular dikalangan masyarakat Indonesia kerna terkenal dengan harga yang relative murah dan sangat bermamfaat bagi kesehatan dan kosumsi yang dapat dimakan langsung tampa pengolahan yg memakan waktu.
Bapak Dede supriatna adalah salah satu pengusaha yang cukup berhasil dengan pertanian jambu Getes biji merah. Jambu jenis ini adalah jambu yang paling banyak mamfaatnya di percaya jambu getes biji merah mampu menyembuhkan berbagai penyakit serta mempunyai pasar yang baik serta sudah terkenal. Berawal dari tekanan hidup dan upaya mencari nafkah untuk anak istri pak Dede dibatu beberapa temanya membangun perkebunan jambu getes biji merah. Niat awal bukan untuk objek wisata namun entah mengapa kebun jambu milik pak Dede itu berubah menjadi objek wisata hidup.
Setiap hari pak dede bisa menjual rata rata 70-80kg jambu dengan harga 6000 per kilo.
Kalo hari minggu bisa mencapai 1 kwintal tegas pak dede sewaktu ditanya wartawan warta polisi. Saya tidak menyangka mas bisnis yang saya kembangkan mendapat respon yang baik dari masyarakat.
Menurut warta polisi pola piker pak dede ini harus menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia yang lain supaya kedepan bisa dikembangkan di daerah masing masing memadangkan masyarakat kita haus akan wisata’ maka wisata jambu adalah solusi yang baik. Sewaktu warta polisi melakukan kunjungan didalam kebun jambu milik pak dede terlihat beberapa kumpulan anak muda dan rombongan keluarga berwisata. Mereka bebas memetik sebanyak mungkin untuk di makan disana atau di bawa pulang.
Bagi yang ingin mengembangkan bisnis jambu getes biji merah dan berniat mendapat penuluhan serta membeli bibit dari bapak dede bisa mengirimkan emailnya kepada rahman_pamenang@yahoo.com atau tlp dan sms ke 085742222518. tukas pak dede serius. Kami akan membantu sepenuhnya.
Berita ini dilengkapi foto pak dede dan jambu
Rabu, 06 Juli 2011
Tebakan unix dan lucu
TEBAK-TEBAKAN LUCU
1.Apa fungsi ekor monyet?
Untuk menghitung monyet, 1 ekor, 2 ekor, 3 ekor, 4 ekor?
2.Tahu apa yang paling besar?
Tahu isi Sumedang
3.Siapa yg lebih pinter dari Einstin?
Orang yang ngilangin bom atom hingga Einstein-lah penemunya
4.Pekerjaan apa yang biasa nyari posisi tempat kering dan selalu mundur?
Tukang ngepel
5.Apa beda gadis baik-baik (GBB) dan gadis nakal (GN)?
GB hanya punya SATU kartu kredit dan JARANG DIPAKAI,GN hanya punya SATU BH dan JARANG DIPAKAI
6.Dari depan yang keliatan cuma tangan kanan doang?
Petugas jalan tol
7.Binatang apa yg kakinya lima?
Anjing kencing ngobrol sama ayam
8.Mana yang lebih pandai, anjing atau monyet?
Emang elo pernah sekelas sama mereka?
9.Kalo seandainya semua orang yang kaya menjadi miskin, lalu orang miskin jadi apa?
Jadi heran
10.Enak mana beras import sama beras lokal?
Enak nasi. Elo doyan beras?
11.Apa perbedaan celana kolor dengan balon gas?
Kalau Balon gas talinya lepas naik keatas
Kalau Celana kolor talinya lepas turun kebawah.
12.Kenapa laki-laki senang berpikir dan perempuan senang ngomong?
Karena laki-laki punya 2 kepala, perempuan punya 2 mulut.
13.Mata, hidung, telinga, mulut, badan mirip kerbau,tapi bukan kerbau. Apaan tuh?
Gambar kerbau
14.Apa yang ada di dalam celana dalam wanita,depannya m belakangnya k?
merek
15.Apa persamaan celana dalam pria dan hotel?
Sama-sama punya ballroom
16.Kenapa lambang apotik ular sama gelas?
Karena kalau gajah, gelasnya pecah
17.Kenapa kapal terbang nggak bisa mundur?
Karena kapal terbang nggak punya spion
18.Lahir di Arab, besar di Arab, tapi ngga bisa bahasa Arab?
Unta
19.Kenapa leher angsa panjang?
Karena kalau pendek namanya bebek
20.Buah apa yang tahu cuma monyet?
Mana gue tau, gue kan bukan monyet?elo kali yang tau jawabannya?
21.Binatang laut apa yang paling tua?
Udang, udah kecil, bongkok, pake?jenggot lagi.
22.Kenapa Air Hujan selalu turun dari atas?
Kalo dari bawah namanya Air Mancur
23.Gajah apa yang belalainya pendek?
Gajahnya Shinchan
24.Apa bedanya monyet sekarang sama monyet jaman dahulu?
Kalau monyet sekarang bisa baca teka-teki di internet.
25.Apa persamaannya batu dengan buta?
Sama-sama tidak baik untuk mata.
26.Kuman apa yang dipatuhi teman-temannya?
Kumandan upacara
27.Kenapa Amrik bisa maju?
Karena disana, anak umur 5 tahun saja sudah bisa bahasa inggris.
28.Kenapa kecantikan lebih penting bagi seorang perempuan ketimbang kepintaran?
Sebab lelaki yang bodoh jumlahnya lebih banyak dibandingkan lelaki yang buta.
29.Kera apa yang kalo naik ke pohon nggak mau turun, tapi kalau di bawah nggak mau naik?
Kerasan bok
30.Anak apa yang paling jelek di dunia?
Anak-anak bilang sih elo!
31.Mengapa batman pakai topeng?
Kerana malu celana dalamnya keliatan.
32.barang apa yang bikin penasaran?
Jawabannya besok aja ya...
33.Mobil apa yang bikin nervous, grogi, takut, dan stress?
Mobilang cinta takut di tolak.
34.Kenapa kalau sedang bercinta maraba raba?
Karena cinta itu buta
35.Apa persamaan naik mobil dan naik motor?
Orang naik mobil, kalau lagi hujan nggak kehujanan, kalau lagi panas nggak kepanasan.Orang naik motor, kalau lagi hujan nggak kepanasan, kalau lagi panas nggak kehujanan.
36.Binatang apa yang nggak pernah rugi?
Laba-laba
37.Panjangnya 15 cm, kemerahan,ada kepalanya, dan
membuat cewek
tergila-gila. Apa hayo?
Duit seratus ribuan
38.Dari jauh seperti tinja, dari deket seperti
tinja, tapi nggak bau. Apaan
tuh?
Foto tinja
39.Kenapa burung Bangau tiap bulan November terbang
ke Selatan?
Soalnya kalau disuruh jalan kejauhan
40.Apaan yang bunder item kecil, tapi kalo loe
sentil loe bisa masuk rumah
sakit?
Tahi lalat Marinir
41.Lobang apa yg rasanya hangat, nikmat, dan nyaman?
LO BANGun pagi-pagi tarik selimut dan tidur lagi?
42.Apakah benar kita bakal sial kalo jumpa ama
kucing hitam?
Itu tergantung?kamu itu manusia atau tikus.
43.Kenapa orang-orang pada takut kehujanan?
Karena hujan itu kalo datang beraninya
keroyokan.Coba kalo turunnya satu
persatu, pasti kagak ada yg bakalan takut, kan?
44.Kenapa di dalam bajaj nggak ada nyamuk?
Karena nyamuk sini cuma takut tiga roda
45.Jam apa yang bisa dimakan?
Jambu, monyet!!!
46.Mengapa guru sejarah botaknya pada kepala bagian
belakang, sedangkan
profesor dibagian depan?
Karena guru sejarah berpikir pada masa
lampau,sedang profesor berpikir
untuk masa depan.
Langganan:
Postingan (Atom)